PLN, PDAM WHAT’S HAPPENED WITH U….?
07 Maret 2010
Dalam teori harga, perusahaan monopoli dapat memaksimalkan keuntungan setinggi mungkin sampai pada batas keuntungan maksimal. Kiranya kondisi ini wajar, mengingat perusahaan monopoli merupakan satu-satunya perusahaan yang memproduksi barang atau jasa tertentu, dan barang atau jasa tersebut umumnya barang publik. Sebelum terjadinya Privatisasi Badan Hukum Milik Negara/Daerah (BUMN/D), barang publik –baca:barang yang sangat dibutuhkan masyarakat- memang haruslah dimonopoli, sebab tanpa adanya peran pemerintah me-monopoli perusahaan publik maka masyarakat akan kesulitan membeli. Hal ini diperkuat dalam UUD 1945 bahwa segala yang terkait dengan hajat hidup oleh masyarakat dikuasai negara. Kenyataan yang demikian ini, apabila dikelola oleh swasta/privat dimungkinkan akan memaksimalkan keuntungan dan tentunya berdampak pada tingginya harga.
Berbeda dengan satu dekade terakhir ini, ketika situasi ekonomi berubah dengan cepat, dimana negara seakan-akan tidak mampu menghadang laju perekonomian masyarakat. Maka solusi yang diyakini ideal bagi pemerintah adalah menyerahkan agenda/aktifitas ekonomi kepada masyarakat (invisible hand). Kenyataan ini diperkuat oleh semakin strength-nya kekuatan pasar sebagai bagian dari beberapa sistem ekonomi di dunia dan di Indonesia khususnya. Pengakuan akan AFTA, NAFTA dan lain-lain merupakan suatu bukti bahwa ketidakmampuan pengelolaan/campur tangan besar pemerintah terhadap kegiatan ekonomi publik tersebut.
Upaya-upaya pemerintah terhadap alur pasar yang unconditioning adalah menyerahkan mekanisme tata kepemilikan aset publik kepada swasta (invisible hand). Dengan artian bahwa swasta bisa memiliki aset-aset yang selama ini dianggap sebagai barang publik yang saya maksud diatas.
Perusahaan Listrik Negara (PLN)
Hubungan dari catatan di atas adalah eksistensi PDAM dan PLN. Sebagai perusahaan strategis dan monopoli, terasa aneh apabila kedua perusahaan tersebut merugi. Secara subtantif manfaatnya kedua perusahaan tersebut jelas berbeda. PLN sebagai industri listrik yang memonopoli listrik hampir seluruh Indonesia ternyata belum bisa memberikan pelayanan yang berarti, pun PDAM, lebih ironis lagi, sebagai perusahaan air minum daerah satu-satunya ternyata sama juga nasibnya dengan PLN.
Perlu kita pahami bahwa beberapa hari terakhir ini kedua perusahaan ini bukan memberikan solusi bagi masyarakat, khususnya di Malang, bahkan menjadi beban baik psikologis, sosial, maupun ekonomis.
Dalam tulisan saya yang saya beri judul “what wrongs with PLN” minggu lalu tanggal 23 pebruari 2010, menyinggung persoalan PLN dari berbagai aspeknya di malang, yang disebabkan oleh blackout. Kejadian dalam cacatan saya tersebut terulang kembali hari ini (07 Maret 2010) dari Pukul 16.30-21.00. tentu dengan alasan yang sama/alasan klasik dari pihak PLN bahwa kemampuan daya yang dimiliki oleh PLN tidak mampu melayani kebutuhan masyarakat secara keseluruhan dan adanya “maling-maling” listrik.
Apapun masalah yang dihadapi oleh PLN adalah sebuah ironi yang sampai saat ini belum terpecahkan. Bagi orang yang paham terhadap persoalan yang dihadapi oleh BUMN yang paling strategis tersebut tentu maklum adanya tetapi bagi masyarakat awam tentu tidak peduli dengan keadaan itu, mereka hanya ingin kebutuhan mereka terpenuhi tanpa adanya persoalan seperti kasus beberapa hari terakhir. Wajar…ya..karena masyarakat awam merasa dirugikan khususnya secara ekonomis.
Ada anekdot – yang berulang-ulang saya kutip di beberapa tulisan saya – adalah “kalau kita terlambat membayar listrik, tentunya kita akan kena sanksi keterlambatan tersebut, tetapi apabila kita tepat atau bahkan lebih awal pembayarannya dari tanggal yang ditentukan oleh pihak PLN maka kita tidak mendapat reward”…..aneh…ya…!! itulah kenyataan dunia monopoli. Karena masyarakat sangat tergantung dengan produk perusahaan tersebut.
Maka dari itu, adalah sebuah harapan masyarakat apabila PLN ataupun lembaga yang secara sistematis sistemnya sama melakukan dan meningkatkan kualitas layanan dengan baik. Agar asas keadilan dari sistem take and give seperti anekdot di atas bisa terealisir, dan setidaknya semakin meningkatkan kepercayaan masyarakat atas layanan tersebut.
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM)
Persoalan yang sama juga terjadi pada PDAM, sebagai perusahaan daerah yang monopoli akan lebih ironi apabila sampai mengalami kurang debit, sehingga konsumen sangat dirugikan. Air sebagai kebutuhan pokok, baik untuk mandi, mencuci, minum dan lain-lain merupakan kebutuhan dasar manusia.
Eksistensi PDAM sebenarnya diawali karena kebutuhan yang besar terhadap air minum dan karena keterbatasan sumber air yang diakibatkan oleh terlalu padatnya rumah penduduk –khususnya di Kota- sehingga tidak memungkinkannya pengadaan sumur-sumur untuk kebutuhan masyarakat kota tersebut, oleh karena itu keberadaan PDAM menjadi kebutuhan mutlak.
Harapan masyarakat terhadap PDAM sungguh sangat besar, sebagai solusi dari permasalahan di atas. Namun demikian, harapan tersebut tidak serta merta bisa terwujud dengan baik alias paradoks. Keberadaan PDAM seringkali mengecewakan dan kurang memuaskan. Seperti kasus beberapa hari yang lalu, dimana air jasa PDAM mengalami macet. Yang imbasnya meluas dibeberapa tempat di Malang. Kejadian ini tidak hanya terjadi di Malang saja, tetapi di berbagai daerah di Indonesia juga mengalami persoalan yang sama terhadap PDAM tersebut.
Dari dua kasus di atas, baik PDAM maupun PLN perlu memahami dan menanggapi persoalan ini lebih serius lagi, sebab dua Unit tersebut merupakan pokok atau kebutuhan dasar masyarakat kita… tidak ada alasan untuk mengalami hal tersebut secara berulang-ulang. Bukankah PDAM maupun PLN Monopoli? Pertanyaannya adalah: bagaimana kalau seandainya ada perusahaan atau beberapa perusahaan yang sama dengan kedua BUMN/D tersebut? Jawabannya sudah pasti, konsumen akan memilih yang lain dimana: pertama, pelayanan memuaskan. Kedua, murah/terjangkau oleh masyarakat. Ketiga, kualitas produk. Namun semua itu hanya sebuah mimpi yang kita semua tidak tahu kapan akan terealisasir, mungkin hanya tuhan yang bisa memberikan solusinya.
Mungkin tepat kalau dulu Bu Megawati memulai melakukan kebijakan Privatisasi BUMN –baca: Indosat-, hal ini terlihat dari kinerja Indosat yang semakin lama semakin membaik. Haruskah Pak SBY melakukan hal yang sama kepada publik soal PLN dan PDAM? Karena sudah terbukti perusahaan negara yang di privatisasi mengalami peningkatan yang luar biasa….setidaknya dapat memberikan kewenangan bagi pemilik modal untuk membuat sejenis PLN maupun PDAM…Bukankah persaingan sempurna lebih menguntungkan masyarakat dari pada monopoli? Karena adanya invisible hand….Wallahu a’lam..
Tulisan ini tidak lepas dari ekspresi kekecewaan atas layanan dua perusahaan tersebut yang sering mati dan macet….Bukankah si “Komo” sudah lewat….
0 komentar:
Post a Comment