Oleh:
Zaim Mukaffi*
Teman saya sempat curhat tentang batas minimal nilai akhir ujian nasional menjadi 5.25, dia mengatakan bahwa apa mungkin kita sampai ke Surabaya secara bersamaan dengan yang lain, sedangkan kita pakai motor yang lain pakai mobil, itupun ada yang mobil Jeep, Sedan dan ada yang mobil umum. Bagaimana dengan tetangga sebelah yang hanya punya sepeda pancal...???
Kiranya curhat teman saya tersebut bisa menjadi potret terhadap kondisi pendidikan di negeri ini. Terutama menyangkut kebijakan pemerintah yang meningkatkan batas minimal nilai ujian akhir nasional. Perubahan kebijakan dari EBTANAS menjadi UAN dengan batas minimal nilai tertentu menjadi kontroversi berkepanjangan dan menimbulkan dampak yang sangat luar biasa bagi siswa, guru dan sekolahan. Tulisan ini mencoba melihat dari dua sisi kebijakan pemerintah dalam membuat kebijakan Batas minimal kelulusan siswa dan sekolah sebagai pelaksana kebijakan.
Pihak Pemerintah
Pemerintah beralasan bahwa untuk saat ini salah satu upaya yang paling efektif untuk meningkatkan kualitas lulusan adalah dengan cara meningkatkan batas minimum nilai kelulusan dari 4.25 menjadi 5.25 dan bahkan akan terus meningkat sampai 7.00. Kalau kita cermati upaya tersebut merupakan langkah cerdas Pemerintah untuk meningkatkan hasil lulusan. Sebab parameter prestasi belajar siswa hanya dapat dilihat dari nilai yang diperoleh siswa.
Menurut pemahaman penulis paling tidak ada dua dampak yang muncul dari kebijakan tersebut, yaitu pertama, upaya tersebut akan meningkatkan semangat siswa dalam belajar. Dengan adanya batas minimal kelulusan dari 4.25 menjadi 5.25 atau bahkan seterusnya, setidaknya akan menjadi jurus ampuh pemerintah dalam upaya untuk meningkatkan semangat belajar siswa. Siswa akan selalu di hantui oleh batas nilai sehingga mau tidak mau mereka harus belajar sungguh-sungguh dan serius agar memperoleh nilai minimal kelulusan tersebut.
Kedua, bagi pihak sekolahan –baca: guru- akan termotivasi untuk selalu bersungguh-sungguh didalam mengajar anak didiknya. Guru tidak lagi bersantai-santai didalam memberikan pelajaran terhadap siswa. Guru dituntut untuk berkompetisi dan berkompetensi pada pengajaran baik itu pada metode maupun sistem mengajar.
Pihak sekolah
Bagi pihak sekolahan upaya yang dilakukan pemerintah tersebut merupakan kebijakan yang sangat tidak populis dan terkesan sepihak. Ada beberapa alasan yang menjadi dasar sekolah terhadap kebijakan tersebut, pertama, dari segi pendanaan sekolah, antara sekolah Negeri dengan Swasta dan sekolah dibawah naungan Diknas maupun Depag masih sangat timpang.
Kedua, Fasilitas, antara sekolah negeri dan swasta masih sangat jauh, terutama sekolah swasta yang ada di pelosok. Persoalan tersebut sangat penting sebab keberadaan fasilitas sekolahan –laboratorium, perpustakaan dll- sangat mempengaruhi pemahaman siswa terhadap mata pelajaran dan guru sendiri. Ketiga, letak Geografis, keberadaan sekolah tentunya sangat mempengaruhi kualitas siswa, antar sekolahan yang ada di kota atau sekitar kota dengan sekolahan diluar kota atau bahkan di pedalaman. Bagi sekolah di kota atau sekitar kota tentu akses komunikasi lebih cepat dibandingkankan dengan diluar kota atau bahkan di pedalaman. Hal ini sangat mempengaruhi kemampuan siswa didalam memahami pelajaran.
Keempat, guru. bisa dibayangkan di satu desa di Kalimantah Tengah, dimana satu sekolah hanya di bimbing oleh seorang guru, pun demikian terjadi di banyak tempat di kawasan timur Indonesia mulai dari NTT, NTB, Papua dan Maluku, tidak jarang satu sekolah hanya punya satu atau dua orang guru. Ini artinya apa? Bahwa seorang guru disamping menjadi guru di banyak mata pelajaran juga merangkap sebagai kepala sekolah, wakil kepala sekolah, TU bahkan tukang kebun. Belum lagi diperparah dengan kompetensi guru yang masih sangat minim. Coba bayangkan, guru agama mengajar IPA, dan sebaliknya guru IPA juga ngajar agama? Ironis memang...????
Implikasi
Melihat fakta tersebut, tentu harus menjadi pertimbangan serius dari pemerintah untuk menyamaratakan nilai akhir ujian nasional. Sangat tidak wajar apabila masih banyaknya perbedaan antara fasilitas, jumlah dan kualitas guru serta –khususnya- keuangan sekolah. Sehingga disama ratakan antar sekolah satu dengan yang lain.
Menurut penulis Upaya pemerintah tersebut memaksakan kehendak dan sangat tidak masuk akal. Mengapa? Sebab antara sekolah satu dengan yang lain dari beberapa apek diatas sangat timpang. Sehingga muncul pertanyaan, apa mungkin bisa di samakan apabila indikator penunjang keberhasilan siswa tidak sama?
Konsekuensi logis yang dilakukan oleh pihak sekolahan – baca: guru- adalah melakukan segala cara agar siswanya mencapai batas minimal nilai kelulusan 5.25. yaitu dengan cara memberikan kebebasan kepada siswa untuk menyontek atau kerja sama antar siswa pada saat ujian, bahkan di banyak kasus guru memberikan jawaban kepada siswa. Apa dampak dari upaya guru tersebut? Tidak lain adalah Pertama, menjaga reputasi guru dan sekolahan. Kedua, agar saat penerimaan siswa baru (PSB) sekolah mendapatkan siswa karena nilai ujian siwa disekolah-nya tinggi dan semua siswa lulus 100%.
Melihat fakta tersebut, kiranya pemerintah harus meng-instropeksi diri terhadap kebijakan yang dikeluarkan. Memang nilai 5.25 bagi sekolah dengan fasilitas lengkap masih tergolong rendah tetapi bagi sekolahan pinggiran 5.25 masih sangat tinggi dan sulit dicapai. Hal ini cukup beralasan sebab antar sekolahan masih terjadi ketimpangan di berbagai aspek baik itu jumlah dan kualitas guru, keuangan sekolah serta fasilitas penunjang belajar siswa.
Solusi
Perlu kiranya bagi pemerintah untuk memberikan hak yang sama antar sekolah swasta dengan negeri, pinggiran dengan perkotaan, dibawah naungan Depag maupun Diknas. Bukankah UUD 1945 pasal 33 ayat 1 mengatakan bahwa semua warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang sama???? Menurut pemahaman penulis maksud pasal tersebut adalah memberikan isyarat bahwa semua yang menyangkut kegiatan belajar mengajar (KBM) baik itu kompetensi guru, kesejahteraan guru, fasilitas sekolahan dan lain-lain yang berkaitan dengan KBM dibiayai oleh negara. MAMPUKAH...????? kalau pemerintah belum mampu untuk memenuhi hal tersebut maka Kebijakan pembatasan nilai kelulusan siswa 5.25 menjadi TIDAK WAJAR dan terkesan dipaksakan...dan kalau hal ini tetap dipaksakan kiranya UUD 1945 pasal 33 ayat 1 perlu di amandemen, dengan merubah bunyi dari pasal tersebut menjadi ” sekolah Negeri mendapatkan hak yang sama”. Wallahu a’lam....
* Pemerhati pendidikan.....
0 komentar:
Post a Comment