(sisi lain nelayan kita……)
Dalam beberapa bulan kedepan para nelayan di se-antero Indonesia mengalami kondisi yang cukup memprihatinkan, Persoalannya bukan kemalasan, tidak ada biaya melaut ataupun yang sifatnya teknis tetapi lebih dari itu kondisi cuaca yang tidak menguntungkan bagi mereka untuk bekerja dilaut.
Menurut hitungan bulan, antara bulan pebruari-juni merupakan bulan semi paceklik, bulan juli-oktober, merupakan bulan paceklik dan nopember-januari merupakan bulan-bulan “penuh berkah” bagi nelayan, ya, apalagi kalau bukan bulan panen atau panen raya. Kondisi yang demikian ini, secara gradual berlangsung terus-menerus, seiring dengan rotasi bulan. Bagi nelayan, tentu bulan-bulan panen yang diharapkan namun kenyataan alam berkata lain. Ada beberapa bulan dimana “ikan hilang dari peredaran” karena kondisi air yang berubah.
Orang sering mengatakan dan bahkan men-genaralisasikan bahwa nelayan itu identik dengan kemiskinan, jawabannya bisa ya, bisa tidak, tergantung dengan nelayan mana, alat tangkapnya apa dan yang lebih penting adalah pola hidupnya bagaimana. Kenyataan bahwa nelayan kita hanya memiliki alat tangkap yang sederhana baik perahu dan alat tangkapnya sehingga berdampak pada wilayah jangkauan penangkapan, hal ini akan berdampak pula pada hasil tangkapannya. Disisi lain, beberapa nelayan mempunyai perahu dan alat tangkap yang lebih modern dan mempunyai jangkauan penangkapan yang lebih jauh sehingga berdampak pula pada hasil tangkapan ikannya. Kondisi yang demikian ini, sebenarnya menjadi jawaban genaralisasi kemiskinan nelayan yang saya maksud didepan.
Namun demikian, dari pengamatan diberbagai wilayah penangkapan, seperti muncar (banyuwangi), bantul (yogyakarta), pekalongan (jawa tengah), ngliyep (malang) dan lain-lain, terdapat sisi lain tentang kemiskinan nelayan disamping beberapa faktor penyebab kemiskinan nelayan itu sendiri yaitu pola hidup yang oportunis atau dalam istilah ekonomi pola hidup yang konsumtif. Misalnya, pada bulan panen raya pendapatan nelayan melimpah. Pada kondisi ini, rata-rata nelayan mempunyai mindset yang sama yaitu “aji mumpung”, sehingga uang yang diperoleh dari keuntungan hasil tangkapannya lebih banyak digunakan untuk kepentingan konsumsi, dan bahkan banyak pula ditemukan apa yang diperoleh sekaligus itulah yang dikonsumsi. Sehingga nyaris tidak ada saving sama sekali. Maka dari itu, pada bulan antara nopember-januari boleh dibilang kehidupan nelayan makmur. Mereka dapat membeli pakaian, televisi, kulkas bahkan sepeda motor. Namun disaat paceklik “kekayaan sesaat” tersebut di gadaikan bahkan dijual lagi, hanya untuk “menyulam” kehidupan yang semakin tidak menentu akibat pendapatan ikannya tidak seimbang dengan biaya penangkapan.
Realitas yang demikian ini terjadi dibanyak tempat di Indonesia. Bahwa budaya saving yang semestinya dilakukan oleh nelayan disaat panen raya tidak banyak dilakukan. Sehingga pada musim semi paceklik dan paceklik para nelayan “kebingungan” karena pendapatannya berubah drastis dan bahkan nyaris adanya, bahkan boleh dibilang bisa kembali modal sudah bagus…..
Dalam teori ekonomi kelautan, ketika seseorang mengalami kondisi yang demikian maka harus ada persiapan-persiapan untuk masa depannya, dengan kata lain “sedia payung sebelum hujan”. Istilah yang demikian ini lebih populer dikenal dengan saving dalam ekonomi makro. Hal ini menuntut nelayan untuk dapat memahami dan memperhitungkan perolehan selama bulan panen dengan bulan-bulan paceklik, sehingga ada live equilibrium pattern. Yaitu adanya keseimbangan pembagian pendapatan dan pemanfaatan keuangan secara proporsional secara gradual antar bulan.
Musim paceklik
Seperti yang sudah saya ungkapkan didepan bahwa ada tiga musim dalam teori penangkapan ikan dilaut. Yaitu musim panen, musim semi dan musim paceklik. Pada saat kondisi paceklik (juli-oktober) merubah suhu udara pada dasar laut menjadi lebih dingin dan menyebabkan ikan dasar/demersal akan berpindah tempat kedasar laut, hal ini menyebabkan sulitnya nelayan tradisional khususnya untuk menangkap ikan, karena daya jangkau yang sangat terbatas. Disamping adanya perubahan suhu yang menyebabkan munculnya angin kencang dan berpotensi mendatangkan gelombang yang besar juga menjadi penghambat proses penangkapan ikan nelayan.
Musim paceklik adalah permasalahan klasik, dikarenakan musim paceklik akan senantiasa datang setiap tahun. Dengan kata lain, setiap tahun itu juga masyarakat nelayan “harap-harap cemas” akan berhadapan dengan musim yang dapat membuatnya “sengsara”. Ironisnya, hingga saat ini nelayan tidak mendapatkan dana asuransi dan tabungan untuk jaminan keselamatan atau masa depan keluarganya dalam menghadapi musim paceklik itu. Namun yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa mereka tetap bertahan menjadi nelayan meskipun selalu terjebak dalam kubangan kemiskinan? dan bagaimana caranya mereka keluar dari jebakan kemiskinan di musim paceklik ?
Dibanyak tempat, pada kondisi paceklik biasanya digunakan oleh nelayan untuk memperbaiki perahu ataupun jaring, dan hanya ada beberapa nelayan saja yang berani melaut untuk menangkap ikan diakibatkan oleh gelombang yang tinggi. Namun bagi nelayan yang mempunyai perahu yang besar, bukan disebabkan karena takut melaut tetapi lebih dikarenakan sepinya ikan akibat perubahan suhu tersebut. Ironisnya, mayoritas nelayan tidak mempunyai pekerjaan lain selain menangkap ikan, sehingga pada saat paceklik banyak juga yang menganggur dirumah dan sesekali melaut dikala persediaan makanan habis. It’s reality.
Dalam beberapa bulan kedepan para nelayan di se-antero Indonesia mengalami kondisi yang cukup memprihatinkan, Persoalannya bukan kemalasan, tidak ada biaya melaut ataupun yang sifatnya teknis tetapi lebih dari itu kondisi cuaca yang tidak menguntungkan bagi mereka untuk bekerja dilaut.
Menurut hitungan bulan, antara bulan pebruari-juni merupakan bulan semi paceklik, bulan juli-oktober, merupakan bulan paceklik dan nopember-januari merupakan bulan-bulan “penuh berkah” bagi nelayan, ya, apalagi kalau bukan bulan panen atau panen raya. Kondisi yang demikian ini, secara gradual berlangsung terus-menerus, seiring dengan rotasi bulan. Bagi nelayan, tentu bulan-bulan panen yang diharapkan namun kenyataan alam berkata lain. Ada beberapa bulan dimana “ikan hilang dari peredaran” karena kondisi air yang berubah.
Orang sering mengatakan dan bahkan men-genaralisasikan bahwa nelayan itu identik dengan kemiskinan, jawabannya bisa ya, bisa tidak, tergantung dengan nelayan mana, alat tangkapnya apa dan yang lebih penting adalah pola hidupnya bagaimana. Kenyataan bahwa nelayan kita hanya memiliki alat tangkap yang sederhana baik perahu dan alat tangkapnya sehingga berdampak pada wilayah jangkauan penangkapan, hal ini akan berdampak pula pada hasil tangkapannya. Disisi lain, beberapa nelayan mempunyai perahu dan alat tangkap yang lebih modern dan mempunyai jangkauan penangkapan yang lebih jauh sehingga berdampak pula pada hasil tangkapan ikannya. Kondisi yang demikian ini, sebenarnya menjadi jawaban genaralisasi kemiskinan nelayan yang saya maksud didepan.
Namun demikian, dari pengamatan diberbagai wilayah penangkapan, seperti muncar (banyuwangi), bantul (yogyakarta), pekalongan (jawa tengah), ngliyep (malang) dan lain-lain, terdapat sisi lain tentang kemiskinan nelayan disamping beberapa faktor penyebab kemiskinan nelayan itu sendiri yaitu pola hidup yang oportunis atau dalam istilah ekonomi pola hidup yang konsumtif. Misalnya, pada bulan panen raya pendapatan nelayan melimpah. Pada kondisi ini, rata-rata nelayan mempunyai mindset yang sama yaitu “aji mumpung”, sehingga uang yang diperoleh dari keuntungan hasil tangkapannya lebih banyak digunakan untuk kepentingan konsumsi, dan bahkan banyak pula ditemukan apa yang diperoleh sekaligus itulah yang dikonsumsi. Sehingga nyaris tidak ada saving sama sekali. Maka dari itu, pada bulan antara nopember-januari boleh dibilang kehidupan nelayan makmur. Mereka dapat membeli pakaian, televisi, kulkas bahkan sepeda motor. Namun disaat paceklik “kekayaan sesaat” tersebut di gadaikan bahkan dijual lagi, hanya untuk “menyulam” kehidupan yang semakin tidak menentu akibat pendapatan ikannya tidak seimbang dengan biaya penangkapan.
Realitas yang demikian ini terjadi dibanyak tempat di Indonesia. Bahwa budaya saving yang semestinya dilakukan oleh nelayan disaat panen raya tidak banyak dilakukan. Sehingga pada musim semi paceklik dan paceklik para nelayan “kebingungan” karena pendapatannya berubah drastis dan bahkan nyaris adanya, bahkan boleh dibilang bisa kembali modal sudah bagus…..
Dalam teori ekonomi kelautan, ketika seseorang mengalami kondisi yang demikian maka harus ada persiapan-persiapan untuk masa depannya, dengan kata lain “sedia payung sebelum hujan”. Istilah yang demikian ini lebih populer dikenal dengan saving dalam ekonomi makro. Hal ini menuntut nelayan untuk dapat memahami dan memperhitungkan perolehan selama bulan panen dengan bulan-bulan paceklik, sehingga ada live equilibrium pattern. Yaitu adanya keseimbangan pembagian pendapatan dan pemanfaatan keuangan secara proporsional secara gradual antar bulan.
Musim paceklik
Seperti yang sudah saya ungkapkan didepan bahwa ada tiga musim dalam teori penangkapan ikan dilaut. Yaitu musim panen, musim semi dan musim paceklik. Pada saat kondisi paceklik (juli-oktober) merubah suhu udara pada dasar laut menjadi lebih dingin dan menyebabkan ikan dasar/demersal akan berpindah tempat kedasar laut, hal ini menyebabkan sulitnya nelayan tradisional khususnya untuk menangkap ikan, karena daya jangkau yang sangat terbatas. Disamping adanya perubahan suhu yang menyebabkan munculnya angin kencang dan berpotensi mendatangkan gelombang yang besar juga menjadi penghambat proses penangkapan ikan nelayan.
Musim paceklik adalah permasalahan klasik, dikarenakan musim paceklik akan senantiasa datang setiap tahun. Dengan kata lain, setiap tahun itu juga masyarakat nelayan “harap-harap cemas” akan berhadapan dengan musim yang dapat membuatnya “sengsara”. Ironisnya, hingga saat ini nelayan tidak mendapatkan dana asuransi dan tabungan untuk jaminan keselamatan atau masa depan keluarganya dalam menghadapi musim paceklik itu. Namun yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa mereka tetap bertahan menjadi nelayan meskipun selalu terjebak dalam kubangan kemiskinan? dan bagaimana caranya mereka keluar dari jebakan kemiskinan di musim paceklik ?
Dibanyak tempat, pada kondisi paceklik biasanya digunakan oleh nelayan untuk memperbaiki perahu ataupun jaring, dan hanya ada beberapa nelayan saja yang berani melaut untuk menangkap ikan diakibatkan oleh gelombang yang tinggi. Namun bagi nelayan yang mempunyai perahu yang besar, bukan disebabkan karena takut melaut tetapi lebih dikarenakan sepinya ikan akibat perubahan suhu tersebut. Ironisnya, mayoritas nelayan tidak mempunyai pekerjaan lain selain menangkap ikan, sehingga pada saat paceklik banyak juga yang menganggur dirumah dan sesekali melaut dikala persediaan makanan habis. It’s reality.
0 komentar:
Post a Comment