Oleh: Zaim Mukaffi, SE., M.Si*
FE-UIN Maliki Malang
LATAR BELAKANG
Abad 21 merupakan abad yang sering kita sebut era globalisasi atau age of globalization, dimana ditandai oleh kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan.
Kemajuan teknologi menghasilkan alat transportasi, telekomunikasi dll. Yang menjadikan hubungan antar satu dengan yang lainnya dipermukaan bumi ini nyaris tanpa batas atau borderless. Apa yang terjadi di luar tanpa kesulitan untuk diakses bahkan dapat disuguhkan di kamar pribadi kita. Sedangkan kemajuan ilmu pengetahuan mampu menciptakan manusia-manusia yang unggul diberbagai bidang.
Disaat kondisi tersebut, merupakan sebuah tuntutan bagi setiap Organisasi baik profit maupun nonprofit untuk menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang unggul. Sebab, tanpa adanya persiapan SDM yang matang, kiranya sulit bagi organisasi bisnis untuk bersaing dengan yang lain.
Disadari atau tidak bahwa SDM memegang peranan yang sangat penting bagi dinamisasi sebuah organisasi untuk mencapai tujuannya. Peranan disini diartikan sebagai bentuk kemampuan secara maksimal menjalankan tugas yang diberikan oleh organisasi sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya (Tupoksi), yang mencakup seluruh aktifitas yang ada dalam organisasi tersebut, mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan kegiatan, sampai pada evaluasi hasil kegiatan. Maka dari itu, tidak berlebihan apabila SDM diposisikan teratas dari pada faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap aktifitas organisasi, seperti tehnologi, modal, tanah dan lain-lain.
Menurut Buller (1995) dikatakan bahwa kesuksesan organisasi dapat dilihat melalui partnership yang baik antara sumberdaya manusia dan perencanaan strategis yang dilakukan oleh organisasi. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi integrasi antara perencanaan strategis dan sumberdaya manusia dalam organisasi yaitu : lingkungan ( environment ), strategi di tingkat Corporate, bisnis dan sumberdaya manusia sendiri, karakteristik organisasi ( yang meliputi ukuran, sejarah, budaya dan struktur organisasi ), proses dan sistem organisasi (yang meliputi human resource control, informasi, pengambilan keputusan dan komunikasi, tugas dan teknologi, praktik dan falsafah manajemen, skill dan nilai karyawan serta politik organisasi )
Mengingat peranannya yang begitu besar, maka sebuah organisasi harus betul-betul memperhatikan SDM ini secara maksimal. Salah satu wujud nyata yang perlu diperhatikan adalah dengan menciptakan situasi lingkungan kerja yang Humanis atau melakukan perbaikan kualitas kehidupan kerja (Filippo: 1983:412); pada dasarnya, perbaikan kualityas kehidupan kerja ini mengacu pada keadaan menyenangkan terhadap lingkungan pekerjaan bagi setiap karyawan/pegawai dengan tujuan pokoknya adalah untuk mengembangkan lingkungan yang aman, nyaman dan harmonis baik bagi karyawan maupun produksinya
PENGERTIAN KUALITAS KEHIDUPAN KERJA
Menurut Bernardin dan russel (1993:520) Quality of Work Life (QWL) is the degree to which individuals are able to satisfy their important personal need (e.g. need for independent) while imployed by the firm. yaitu tingkat individu-individu yang merasa puas atas kebutuhan-kebutuhan penting mereka –seperti kebutuhan untuk bebas- dimana mereka bekerja dalam suatu perusahaan. Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa kualitas kehidupan kerja ditentukan oleh bagaimana pekerja merasakan perannya dalam setiap organisasi. Peran disini diartikan sebagai bagian dari cara yang sistematis dimana karyawan berpartisipasi didalam setiap pengambilan keputusan yang menyangkut masalah sikap dan terkait dengan pekerjaan, kegiatan, dan organisasi mereka, sehingga peran tersebut mampu memberikan rasa tanggung jawab dan merasa memiliki (sense of belonging) terhadap setiap pekerjaan yang muncul dari kesepakatan dan keputusan bersama (Wheter dan davis, 1996:502).
Sedangkan menurut French (dalam Arifin, 1999:1) mengartikan kualitas kehidupan secara sempit yaitu teknik manajemen yang mencakup gugus kendali mutu, pengayaan pekerjaan (job enrichment), suatu pendekatan untuk bernegosiasi dengan serikat pekerja, upaya manajemen untuk memelihara kebugaran mental para karyawan, hubungan industri yang serasi, manajemen partisipatif dan sebagai salah satu bentuk intervensi dan pengembangan organisasional.
Perkembangan selanjutnya adalah kualitas kehidupan kerja merupakan bentuk filsafat yang diterapkan oleh manajemen dalam mengelola organisasi pada umumnya dan sumberdaya pada khususnya. Sebagai filsafat dasar, kualitas kehidupan kerja merupakan cara pandang manajemen tentang manusia, pekerjaan dan organisasi dengan berbagi aktivitas di dalam tempat kerja (Filippo, 1983:412). Unsur-unsur pokok dalam filsafat tersebut adalah kepedulian manajemen tentang dampak pekerjaan pada manusia, efektifitas organisasi serta pentingnya para karyawan dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan terutama menyangkut pekerjaan karier, penghasilan dan nasib mereka dalam pekerjaannya. Akan tetapi memanusiakan lingkungan kerja dengan mengakui dan menghargai harkat dan martabat sebagai manusia dalam organisasi merupakan masalah yang sangat ditekankan dalam teori ini.
Untuk meningkatkan kualitas kehidupan kerja terdapat sembilan (9) aspek dari sumberdaya manusia di lingkungan perusahaan yang perlu diciptakan, dibina dan dikembangkan yaitu:
• di lingkungan setiap dan semua perusahaan, pekerja sebagai sumberdaya menusia memerlukan komunikasi yang terbuka dalam batas-batas wewenang dan tanggungjawab masing-masing.
• di lingkungan suatu perusahaan, settiap dan semua pekerjaan memerlukan pemberian kesempatan untuk memecahkan konflik dengan perusahaan atau sesama karywan secara terbuka, jujur, dam lain-lain.
• di lingkungan suatu perusahaan, setiap dan semua pegawai memerlukan kerjasama karir masing-masing dalam menghadapi masa depannya.
• di lingkungan suatu perusahaan, setiap pegawai perlu diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan pekerjaan, sesuai dengan posisi, wewenang, dan jabatan masing-masing.
• di lingkungan suatu perusahaan, setiap pegawai perlu dibina dan dikembangkan perasaan bangganya pada pekerjaan dan tempat kerjanya.
• di lingkungan suatu perusahaan, setiap pegawai harus memperoleh kompensasi yang adil, wajar dan mencukupi.
• di lingkungan suatu perusahaan, setiap pegawai memerlukan keamanan lingkungan kerja.
• di lingkungan suatu perusahaan, semua pegawai memerlukan jaminan kelangsungan pekerjaannya
• di lingkungan suatu perusahaan, semua dan setiap pegawai memerlukan perhatian terhadap pemeliharaan kesehatannya agar dapat bekerja secara efektif, efisien, dan produktif.
Sedangkan komponen-komponen utama didalam kualitas kehidupan kerja yang berguna untuk meningkatkan produktifitas karyawan dan memperbaiki kualitas produk serta mengurangi absenteism menurut Wayne (1982:25) adalah:
• Pay (upah)
• Employee benefit (the most frequently mentioned issue were health care, dental care, and relirement)/ masalah yang terkait dengan karyawan seperti jaminan kesehatan dll.
• Job scurity (kemanan kerja)
• Alternative work schedules (adanya jadwal kerja alternatif)
• Job stress
Dampak dari kualitas kehidupan kerja yang buruk salah satu diantaranya adalah timbulnya stress di tempat kerja. Stess kerja merupakan istilah umum yang menunjuk pada tekanan dan masalah yang dialami oleh setiap orang dalam kehidupan kerjanya. Konsep stress mengandung dua makna yaitu positif dan negatif. Jika orang dapat mengatur atau mengelola stress dengan baik maka secara psikologis akan menumbuhkan semangat dan motivasi untuk bekerja. Sebaliknya jika stress terlalu berlebihan akan menyebabkan terganggunya kesehatan baik secara fisik maupun nonfisik (Titin Ekowati, 2009).
Stress yang sering dikeluhkan orang biasanya merupakan suatu perasaan tegang atau tekanan yang dialami ketika tuntutan yang dihadapkan melebihi kekuatan yang ada pada diri kita. Saat ini, reaksi stress pada umumnya berhubungan dengan ancaman finansial, emosional, mental, dan sosial. Oleh karena itu pimpinan suatu organisasi perlu mengelola stress agar karyawan mampu bekerja produktif sehingga kinerja organisasi dapat dicapai secara maksimal ( Anwar Prabu Mangkunegara, 2003 : 179 ).
Menurut Szilagyi ( 1990 ) stress adalah pengalaman yang bersifat internal yang menciptakan adanya ketidakseimbangan pisik dan psikis dalam diri seseorang sebagai akibat dari faktor lingkungan eksternal organisasi atau orang lain. Stress kerja merupakan perasaan yang menekan atau merasa tertekan yang dialami karyawan dalam menghadapi pekerjaan. Stress kerja ini tampak dari simpton antara lain emosi tidak stabil, perasaan tidak tenang, suka menyendiri, sulit tidur, merokok yang berlebihan, tidak bisa rileks, cemas, tegang, gugup, tekanan darah meningkat dan mengalami gangguan pencernaan. Penyebab stress kerja antara lain beban kerja yang dirasakan terlalu berat, waktu kerja yang mendesak, kualitas pengawasan kerja yang rendah, iklim kerja yang tidak sehat, autoritas kerja yang tidak memadai yang berhubungan dengan tanggung jawab, konflik kerja, perbedaan nilai antar karyawan dengan pimpinan yang frustasi dalam kerja.
Stress yang terjadi berlarut – larut dapat menyebabkan karyawan mengalami burn out. Menurut Sulistyantini ( dalam Lailani, dkk, 2005 ), stress dan tekanan kerja dapat mengalami pasang surut dan berubah – ubah. Dengan kata lain , hari ini individu mengalami stress, esok harinya bisa kembali normal. Sedangkan burn out terjadi secara perlahan melalui proses waktu cukup lama. Atau stress merupakan proses adaptasi sementara terhadap tekanan lingkungan sehingga bersifat fluktuatif dan tidak menetap, serta tidak disertai perubahan sikap dan perilaku. Burnout merupakan tahap akhir dari ketidakmampuan individu untuk beradaptasi dengan tekanan lingkungan, dimanan proses terjadinya berjalan perlahan dan waktu yang lama, serta terjadi perubahan sikap – perilaku yang negatif pada orang lain dan pekerjaannya. Burnout bukanlah kondisi yang bersifat temporal dan terjadi secara bertahap, perlahan dan menetap dalam jangka waktu yang lama.
Problem interpersonal dalam lingkungan kerja dapat terjadi terhadap resipien, kolega, supervisor, dan bawahan. Individu yang mengalami burnout dapat membawa problem di tempat kerja ke rumah, yang oleh Jackson dan Maslach disebut dengan negative spillover. Tipikal individu yang mengalami burnout cenderung menarik diri dari kontak sosial dan lebih buruk lagi jika mengisolasi dirinya.
Sikap negatif yang berkembang tidak hanya terjadi pada hubungan interpersonal saja tetapi dapat pula terjadi pada pekerjaan ataupun organisasi. Sikap negatif dalam hubungan interpersonal seperti dehumanisasi, tidak berperasaan (callous), memisahkan diri (detached), acuh tak acuh (indifferent), sinis (synical) terhadap resipien, merupakan karakteristik yang sering muncul pada penderita burnout.
Burnout dapat memperburuk kualitas kerja (Chermis dan Freudenberger, dalam Schultz dan Schultz, 1994) bahkan dapat menyebabkan individu berhenti dari pekerjaan, turnover tinggi dan juga absen, serta rendahnya produktivitas kerja ( Schaufeli dan Buunk, 1996 ). Jaffe dan Scott ( dalam Sulistyantini, 1997 ) menambahkan bahwa burnout dapat menimbulkan masalah bagi organisasi atau perusahaan karena simpton burnout dapat muncul dalam bentuk komitmen kinerja menurun, frustasi, penurunan semangat kerja, turnover, hilangnya dedikasi dan kreativitas individu. Simpton ini juga sering disertai dengan munculnya simpton fisik.
Sikap negatif terhadap pekerjaan atau organisasi yang sering muncul adalah hilangnya motivasi intrinsik individu seperti semangat, antusiasisme, minat dan idealisme. Individu yang mengalami burnout merasa tidak dihargai oleh organisasi atau rekan kerjanya. Individu menjadi tidak perhatian terhadap organisasi dan akhirnya mengkritik dan tidak mempercayai pihak manajemen, rekan kerja, maupun supervisor. Individu yang mengalami burnout merasa tujuan – tujuannya tidak tercapai dengan disertai perasaan serba kurang dan rendahnya harga diri ( self – esteem ).
Menurut Chermiss dan Freudenberget ( dalam Schultz dan Schultz, 1994 ), individu yang mengalami burnout menunjukkan rendahnya energi dan minat pekerjaan. Individu mengalami kelelahan emosional, apatis, murung, mudah marah, dan merasa bosan, cenderung mencari kesalahan pada semua aspek yang ada di lingkungannya, termasuk pada rekan kerja dan bersikap negatif kepada orang lain, serta kualitas kerjanya menurun. Schultz dan Schultz ( 1994 ) menambahkan , sikap negatif yang dapat berkembang adalah individu cenderung bersikap kaku pada pekerjaan, mengikuti peraturan dan prosedur kerja dengan terpaksa karena mereka mengalami kelelahan untuk bersikap fleksibel terhadap pendekatan – pendekatan alternatif.
• Partisipation in decitions that affect them (partisipasi karyawan dalam setiap keputusan)
• Democracy in the workplace
• Profit sharing
• Pansion right (hak pensiun)
DIMENSI KUALITAS KEHIDUPAN KERJA
Menurut Wayne (1989:240) ada dua (2) pandangan mengenai maksud dari Kualitas Kehidupan Kerja. Pertama, Kualitas Kehidupan Kerja adalah sejumlah keadaan dan praktek dari organisasi (contoh: pengkayaan penyelia yang demokratis, keterlibatan pekerja, dan kondisi kerja yang aman). Sementara yang kedua, Kualitas Kehidupan Kerja adalah persepsi karyawan bahwa mereka ingin rasa aman, secrara rela mereka puas, dan mendapatkan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang sebagai layaknya manusia.
Sedangkan menurut Siagian (dalam Arifin, 1999:2) Kualitas Kehidupan Kerja sebagai filsafat manajemen menekankan pada.
• Program kompetitif dengan mempertimbangkan berbagai kebutuhan dan tuntutan karyawan.
• Peraturan perundang-undangan. Seperti ketentuan yang mengatur pencegahan tindakan yang diskriminatif, perlakuan pekerja dengan cara-cara yang manusiawi dan ketentuan sistem imbalan upah minimum.
• Pengakuan keberadaan serikat pekerja dalam organisasi dengan berbagai perannya memperjuangkan kepentingan para pekerja termasuk upah dan gaji, keselamatan kerja, dan penyelesaian pertikaian buruh/karyawan berdasrkan berbagai ketentuan normatif yang berlaku di wilayah tertentu.
• Pentingnya manajemen yang manusiawi, yang pada hakikatnya berarti penampilan gaya manajemen yang demokratik termasuk penyelia yang simpatik.
• Perkayaan pekerjaan, sebab merupakan bagian integral yang sangat penting bagi dinamisasi perusahaan.
• Pentingnya tanggungjawab sosial dari pihak manajemen dan perlakuan manajemen terhadap karyawan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Dari berbagai definisi dan karakteristik Kualitas Kehidupan Kerja di atas, yang selanjutnya oleh Arifin (1999:3) disimpulkan bahwa Kualitas Kehidupan Kerja mempunyai empat (4) dimensi yang perlu diterapkan oleh manajemen untuk mencapai kinerja yang unggul dan produktifitas kerja karyawan, yaitu.
Lingkungan kerja
Lingkungan kerja dalam suatu perusahaan sangat penting untuk diperhatikan manajemen. Meskipun lingkungan kerja tidak melaksnakan proses produksi dalam suatu perusahaan, namun lingkungan kerja mempunyai pengaruh langsung terhadap para karyawan yang melaksanakan proses produksi tersebut. Lingkungan kerja yang memusatkan bagi karyawannya dapat meningkatkan kinerja. Sebaliknya lingkungan kerja yang tidak memadai akan dapat menurunkan kinerja. Sebaliknya lingkungan kerja yang tidak memadai akan dapat menurunkan kinerja dan akhirnya menurunkan motivasi kerja karyawan.
Suatu kondisi lingkungan kerja dikatakan baik atau sesuai apabila manusia dapat melaksnakan kegiatan secara optimal, sehat, aman dan nyaman. Kesesuaian lingkungan kerja dapat dilihat akibatnya dalam jangka waktu yang lama. Lebih jauh lagi lingkungan-lingkungan kerja yang kurang baik dapat menuntut tenaga kerja dan waktu yang lebih banyak dan tidak mendukung diperolehnya rencangan sistem kerja yang efisien.
Beberapa ahli mendifinisikan lingkungan kerja antara lain sebagai berikut :
1. Nitisemito (2000:183) mendefinisikan lingkungan kerja sebagai berikut:
“Lingkungan kerja adalah segala sesuatu yang ada disekitar para pekerja yang dapat mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas-tugas yang diembankan”.
2. Sedarmayati (2001:1) mendefinisikan lingkungan kerja sebagai berikut :
“Lingkungan kerja adalah keseluruhan alat perkakas dan bahan yang dihadapi, lingkungan sekitarnya di mana seseorang bekerja, metode kerjanya, serta pengaturan kerjanya baik sebagai perseorangan maupun sebagai kelompok”.
Dari beberapa pendapat di atas, disimpulkan bahwa lingkungan kerja merupakan segala sesuatu yang ada di sekitar karyawan pada saat bekerja, baik yang berbentuk fisik ataupun non fisik, langsung atau tidak langsung, yang dapat mempengaruhi dirinya dan pekerjaanya saat bekerja.
• Jenis Lingkungan Kerja
Sedarmayanti (2001:21) menyatakan bahwa secara garis besar, jenis ingkungan kerja terbagi menjadi 2 yakni : (a) lingkungan kerja fisik, dan (b) lingkungan kerja non fisik.
• Lingkungan kerja Fisik
Menurut Sedarmayanti (2001:21),
“Lingkungan kerja fisik adalah semua keadaan berbentuk fisik yang terdapat di sekitar tempat kerja yang dapat mempengaruhi karyawan baik secara langsung maupun scara tidak langsung.
Lingkungan kerja fisik dapat dibagi dalam dua kategori, yakni :
1. Lingkungan yang langsung berhubungan dengan karyawan (Seperti: pusat kerja, kursi, meja dan sebagainya)
2. Lingkungan perantara atau lingkungan umum dapat juga disebut lingkungan kerja yang mempengaruhi kondisi manusia, misalnya :temperatur, kelembaban, sirkulasi udara, pencahayaan, kebisingan, getaran mekanis, bau tidak sedap, warna, dan lain-lain.
Untuk dapat memperkecil pengaruh lingkungan fisik terhadap karyawan, maka langkah pertama adalah harus mempelajari manusia, baik mengenai fisik dan tingkah lakunya maupun mengenai fisiknya, kemudian digunakan sebagai dasar memikirkan lingkungan fisik yang sesuai.
• Lingkungan Kerja Non Fisik
Menurut Sadarmayanti (2001:31), “Lingkungan kerja non fisik adalah semua keadaan yang terjadi yang berkaitan dengan hubungan kerja, baik hubungan dengan atasan maupun hubungan sesama rekan kerja, ataupun hubungan dengan bawahan”.
Lingkungan non fisik ini juga merupakan kelompok lingkungan kerja yang tidak bisa diabaikan.
Menurut Nitisemito (2000:171-173) Perusahaan hendaknya dapat mencerminkan kondisi yang mendukung kerja sama antara tingkat atasan, bawahan maupun yang memiliki status jabatan yang sama di perusahaan. Kondisi yang hendaknya diciptakan adalah suasana kekeluargaan, komunikasi yang baik, dan pengendalian diri.
Sentoso (2001:19-21) yang mengutip pernyataan Prof. Myon Woo Lee sang pencetus teori W dalam Ilmu Manajemen Sumber Daya Manusia, bahwa pihak manajemen perusahaan hendaknya membangun suatu iklim dan suasana kerja yang bisa membangkitkan rasa kekeluargaan untuk mencapai tujuan bersama. Pihak manajemen perusahaan juga hendaknya mampu mendorong inisiatif dan kreativitas. Kondisi seperti inilah yang selanjutnya menciptakan antusiasme untuk bersatu dalam organisasi perusahaan untuk mencapai tujuan.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Lingkungan Kerja
Manusia akan mampu melaksanakan kegiatannya dengan baik, sehingga dicapai suatu hasil yang optimal, apabila diantaranya ditunjang oleh suatu kondisi lingkungan yang sesuai. Suatu kondisi lingkungan dikatakan baik atau sesuai apabila manusia dapat melaksanakan kegiatannya secara optimal, sehat, aman, dan nyaman. Ketidaksesuaian lingkungan kerja dapat dilihat akibatnya dalam jangka waktu yang lama. Lebih jauh lagi, Keadaan lingkungan yang kurang baik dapat menuntut tenaga dan waktu yang lebih banyak dan tidak mendukung diperolehnya rancangan sistem kerja yang efisien. Banyak faktor yang mempengaruhi terbentuknya suatu kondisi lingkungan kerja.
Berikut ini beberapa faktor yang diuraikan Sedarmayanti (2001:21) yang dapat mempengaruhi terbentuknya suatu kondisi lingkungan kerja dikaitkan dengan kemampuan karyawan, diantaranya adalah :
1. Penerangan/cahaya di tempat kerja
2. Temperatur/suhu udara di tempat kerja
3. Kelembaban di tempat kerja
4. Sirkulasi udara di tempat kerja
5. Kebisingan di tempat kerja
6. Getaran mekanis di tempat kerja
7. Bau tidak sedap ditempat kerja
8. Tata warna di tempat kerja
9. Dekorasi di tempat kerja
10. Musik di tempat kerja
11. Keamanan di tempat kerja
Kompensasi (Upah atau gaji)
Salah satu tujuan manajemen sumber daya manusia, yaitu memastikan organisasi memiliki tenaga kerja yang bermotivasi dan berkinerja tinggi, serta dilengkapi dengan sarana untuk menghadapi perubahan yang dapat memenuhi kebutuhan pekerjanya. Dalam usaha mendukung pencapaian tenaga kerja yang memiliki motivasi dan berkinerja tinggi, yaitu dengan cara memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
Sistem kompensasi juga berpotensi sebagai salah satu sarana terpenting dalam membentuk perilaku dan mempengaruhi kinerja. Namun demikian banyak organisasi mengabaikan potensi tersebut dengan suatu persepsi bahwa “kompensasi tidak lebih sekadar a cost yang harus diminimisasi”. Tanpa disadari beberapa organisasi yang mengabaikan potensi penting dan berpersepsi keliru telah menempatkan sistem tersebut justru sebagai sarana meningkatkan perilaku yang tidak produktif atau counter productive. Akibatnya muncul sejumlah persoalan personal misalnya low employee motivation, poor job performance, high turn over, irresponsible behaviour dan bahkan employee dishonestry yang diyakini berakar dari sistem kompensasi yang tidak proporsional.
Menurut Handoko, “Faktor pendorong penting yang menyebabkan manusia bekerja adalah adanya kebutuhan dalam diri manusia yang harus dipenuhi (Handoko, 2003, p.30)” Dengan kata lain, berangkat dari keinginan untuk memenuhi kebutuhan hidup, manusia bekerja dengan menjual tenaga, pikiran dan juga waktu yang dimilikinya kepada perusahaan dengan harapan mendapatkan kompensasi (imbalan).
Secara umum kompensasi merupakan sebagian kunci pemecahan bagaimana membuat anggota berbuat sesuai dengan keinginan organisasi. Sistem kompensasi ini akan membantu menciptakan kemauan diantara orang-orang yang berkualitas untuk bergabung dengan organisasi dan melakukan tindakan yang diperlukan organisasi. Secara umum berarti bahwa karyawan harus merasa bahwa dengan melakukannya, mereka akan mendapatkan kebutuhan penting yang mereka perlukan. Dimana didalamnya termasuk interaksi sosial, status, penghargaan, pertumbuhan dan perkembangan.
Menurut J. Long (1998:8) dalam bukunya Compensation in Canada mendefinisikan sistem kompensasi adalah bagian (parsial) dari sistem reward yang hanya berkaitan dengan bagian ekonomi, namun demikian sejak adanya keyakinan bahwa perilaku individual dipengaruhi oleh sistem dalam spektrum yang lebih luas maka sistem kompensasi tidak dapat terpisah dari keseluruhan sistem reward yang disediakan oleh organisasi. Sedangkan reward sendiri adalah semua hal yang disediakan organisasi untuk memenuhi satu atau lebih kebutuhan individual. Adapun dua jenis reward tersebut adalah :
• Ekstrinsik kompensasi, yang memuaskan kebutuhan dasar untuk survival dan security dan juga kebutuhan sosial dan pengakuan. Pemuasan ini diperoleh ari faktor-faktor yang ada di sekeliling para karyawan di sekitar pekerjaannya, misalnya : upah, pengawasan, co worker dan keadaan kerja.
• Intrinsik kompensasi, yang memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi tingkatannya, misalnya untuk kebanggaan, penghargaan, serta pertumbuhan dan perkembangan yang dapat diperoleh dari faktor-faktor yang melekat dalam pekerjaan karyawan itu, seperti tantangan karyawan atau interest suatu pekerjaan yang diberikan, tingkatan keragaman/variasi dalam pekerjaan, adanya umpan balik, dan otoritas pengambilan keputusan dalam pekerjaan serta signifikansi makna pekerjaan bagi nilai-nilai organisasional.
Masalah kompensasi bukan hanya penting karena merupakan dorongan utama seseorang menjadi karyawan, tapi juga besar pengaruh terhadap semangat dan kegairahan kerja para karyawan. Dengan demikian maka setiap badan usaha harus dapat menetapkan kompensasi yang paling tepat, sehingga dapat menopang mencapai tujuan badan usaha secara lebih efektif dan lebih efisien. Seberapa besar kompensasi diberikan harus sedemikian rupa sehingga mampu mengikat para karyawan. Hal ini adalah sangat penting sebab bila komponen yang diberikan kepada para karyawan terlalu kecil bila dibandingkan badan usaha lain, maka hal ini dapat menyebabkan karyawan pindah ke badan usaha yang lain. Dalam perkembangannya sistem kompensasi sendiri mempunyai tiga komponen pokok, yaitu :
• Upah dasar (based pay), merupakan komponen upah dasar bagi kebanyakan karyawan, dan pada umumnya berdasarkan hitungan waktu, seperti jam, hari, minggu, bulan atau per tahun.
• Upah berdasar kinerja (performance related pay), berkaitan dengan monetary reward dengan basis ukuran atau merupakan upah yang didasarkan pada ukuran kinerja individu, kelompok atau organisasi.
• Upah tidak langsung dikenal sebagai employee benefit “keuntungan bagi karyawan” terdiri dari barang-barang jasa non cash item atau services yang secara langsung memuaskan sejumlah kebutuhan spesifik karyawan, seperti jaminan keamanan pendapatan (income security) termasuk asuransi jiwa, perlindungan kesehatan termasuk medical & dental plan dan pensiun.
Menurut Mondy, bentuk dari kompensasi yang diberikan perusahaan kepada karyawan dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu: (1) financial compensation, dan (2) non-financial compensation,
Financial compensation (kompensasi finansial)
Kompensasi finansial artinya kompensasi yang diwujudkan dengan sejumlah uang kartal kepada karyawan yang bersangkutan. Kompensasi finansial implementasinya dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu:
• Direct Financial compensation (kompensasi finansial langsung) Kompensasi finansial langsung adalah pembayaran berbentuk uang yang karyawan terima secara langsung dalam bentuk gaji/upah, tunjangan ekonomi, bonus dan komisi. Gaji adalah balas jasa yang dibayar secara periodik kepada karyawan tetap serta mempunyai jaminan yang pasti, sedangkan upah adalah balas jasa yang dibayarkan kepada pekerja dengan berpedoman pada perjanjian yang disepakati pembayarannya.
• Indirect Financial compensation (kompensasi finansial tak langsung) Kompensasi finansial tidak langsung adalah termasuk semua penghargaan keuangan yang tidak termasuk kompensasi langsung. Wujud dari kompensasi tak langsung meliputi program asuransi tenaga kerja (jamsostek), pertolongan sosial, pembayaran biaya sakit (berobat), cuti dan
lain-lain.
Non-financial compensation (kompensasi non finansial)
Kompensasi non-finansial adalah balas jasa yang diberikan perusahaan kepada karyawan bukan berbentuk uang, tapi berwujud fasilitas. Kompensasi jenis ini dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu:
• Non financial the job (kompensasi berkaitan dengan pekerjaan)
Kompensasi non finansial mengenai pekerjaan ini dapat berupa pekerjaan yang menarik, kesempatan untuk berkembang, pelatihan, wewenang dan tanggung jawab, penghargaan atas kinerja. Kompensasi bentuk ini merupakan perwujudan dari pemenuhan kebutuhan harga diri (esteem) dan aktualisasi (self actualization).
• Non financial job environment (kompensasi berkaitan dengan lingkungan pekerjaan)
Kompensasi non finansial mengenai lingkungan pekerjaan ini dapat berupa supervisi kompetensi (competent supervision), kondisi kerja yang mendukung (comfortable working conditions), pembagian kerja (job sharing). (Mondy, 2003, p.442)
Besarnya kompensasi yang diterima karyawan mencerminkan jabatan, status, dan tingkat pemenuhan kebutuhan yang dinikmati oleh karyawan bersama keluarganya. Apabila kompensasi yang diterima karyawan semakin besar, berarti jabatannya semakin tinggi, statusnya semakin baik, dan pemenuhan kebutuhan yang dinikmatinya semakin banyak pula. Dengan demikian kepuasan kerja karyawan semakin baik dan hasil kerja pun akan baik.
Kepentingan perusahaan dengan pemberian kompensasi yaitu memperoleh imbalan prestasi kerja yang lebih besar dari karyawan. Sedangkan kepentingan karyawan atas kompensasi yang diterima, yaitu dapat memenuhi kebutuhan dan keinginannya dan menjadi keamanan ekonomi rumah tangganya. Bagi perusahaan, kompensasi merupakan faktor utama dalam kepegawaian. Kebijakan sumber daya manusia banyak berhubungan dengan pertimbangan untuk menentukan kompensasi karyawan. Tingkat besar-kecilnya kompensasi sangat berkaitan dengan tingkat pendidikan, tingkat jabatan, dan masa kerja karyawan
Partisipasi karyawan
Pandangan dari pemecahan masalah secara partisipatif melibatkan anggota-anggota organisasi pada berbagai tingkatan. Manajemen partisipatif adalah suatu sistem dimana anggota-anggotanya dilibatkan dalam pelaksanaan operasional atau kegiatan bisnis di bawah arahan dari penyelia. Dalam hal ini pekerja memiliki kesempatan untuk berpartisipasi atau terlibat didalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi secara langsung ataupun tidak langsung terhadap pekerjaan mereka. Kualitas kehidupan kerja tidak dapat didelegasikan secara sepihak oleh manajemen, namun melalui kesepakatan antara atasan dan bawahan yang kemudian oleh Arifin (1999:3) istilah tersebut dikenal dengan konsep employee involment (keterlibatan pekerja).
Keterlibatan pekerja diartikan sebagai bentuk perizinan para pekerja untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi mereka. Dimana pihak manajemen melepaskan tanggungjawab dan peranan pengambilan keputusan. Hal ini membuktikan bahwa adanya rasa saling percaya antara pihak manajemen dengan pekerja tanpa harus saling curiga.
Secara teoritis manajemen partisipatif diklasifikasi menjadi dua (2) bagian. Pertama, setiap individu dalam suatu organisasi sanggup untuk menyumbangkan perbaikan-perbaikan dalam kerja yang mereka lakukan. Ini berarti bahwa setiap orang dalam tugas-tugas khusus adalah pekerja yang paling tahu bidang garapannya masing-masing. Terlebih jika pekerja dimotivasi untuk dikembangkan lebih banyak untuk mempengaruhi situasi kerja. Para pekerja lebih cenderung untuk lebih komitmen terhadap pencapaian tujuan dan perubahan dimana mereka turut membentuknya. Kedua, bahwa hasil dari kelompok kerja bersama-sama akan lebih besar dari pada jumlah usaha individu secara terpisah.
Restrukturisasi kerja.
Perhatian selanjutnya dalam konteks Kualitas kehidupan kerja adalah restrukturisasi kerja yang secara alami dilakukan oleh karyawan dan sistem kerja yang melingkupinya. restrukturisasi kerja mencakup pengawasan, penetapan kerja terutama prosedur dalam pengembangan para pekerja dengan keterlibatan pekerja. Dengan demikian akan membuat pekerja menjadi interdependensi sehingga akan terbentur kerjasama yang solid antar tim. Jika kondisi ini sudah menjadi budaya dalam organisasi, maka untuk mencapai tingkat kerja yang diinginkan tidak sulit dalam hal ini Kualitas kehidupan kerja mengandung pengertian bahwa kehidupan kerja seseaorang, terdapat kemungkinan untuk mengembangkan keterampilan dan kemampuan yang dimilikinya.
Daftar Pustaka
Alex S. Nitisemito (2000). Manajemen Personalia: Manajemen Sumber Daya Manusia, Ed. 3, Ghalia Indonesia, Jakarta
Arifin, Nur. Aplikasi konsep Quality of Worklife (QWL) dan Upaya Menumbuhkan Motivasi Karyawan berkinerja Unggul. Usahawan No. 10 Th. XXVIII. Oktober. 1999
Bernadin and Russel, Joice E.A. 1993. Human Resources Management, An Experiential Approach. By McGraw-Hill, Inc. Newyork, USA
Cascio, Wayne F. 1989. Managing Human Resource. Productivity, Quality of Worklife, Profit. Second Edition. McGraw-Hill, Inc. Singapura.
Filippo B. Edwin. 1983. Personal Management. Sixth Edition. McGraw-Hill. International Book Company, USA
Mangkunegara, Anwar P, 2003, Perencanaan & Pengembangan Sumberdaya Manusia, Bandung : Refika Aditama.
Paul. F. Buller, 1995, Successful Partnerships : HR and Strategic Planning at Eight Top Firms, Academy of Management Executive, Vol9. No.2
Schaufeli, W.B., and Buunk, B.P.1996. Profesional Burnout, Handbook of Work and Health Psychology., Schabracq, M.J. Winnubst, J.A.M., Cooper, C.L. ( Editor ). Chichester : John Wiley and Sons Ltd.
Schultz, D.P., and Schultz, S.E. 1994. Psycology and Work Today : an Introduction to Industrial an Organizational Psycology. Sixth Edition, New York : Macmillan Publishing Company.
Sedarmayanti (2001). Sumber Daya Manusia dan Produktivitas Kerja. Mandar Maju, Bandung
Suryadi Perwiro Sentono (2001). Model Manajemen Sumber Daya Manusia Indonesia, Asia dan Timur Jauh, Bumi Aksara, Jakarta
Sulistyantini, S.R. 1997. Hubungan Antara Dukungan Sosial dengan Burnout pada Perawat di Rumah Sakit Angkatan Laut Jakarta Pusat. Hasil Penelitian ( tidak diterbitkan ). Jogjakarta : Fakultas Psikologi, UGM.
Titin ekowati, 2009, Quality of Work Life : Upaya Antisipasi Stress di Tempat Kerja. Jurnal, published in www.um-pwr.ac.id
Werther, William B. JR. and Davis, Keith. 1996. Human Resources and Personal management. Fifth Edition. McGraw-Hill, Inc Boston, USA
Disaat kondisi tersebut, merupakan sebuah tuntutan bagi setiap Organisasi baik profit maupun nonprofit untuk menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang unggul. Sebab, tanpa adanya persiapan SDM yang matang, kiranya sulit bagi organisasi bisnis untuk bersaing dengan yang lain.
Disadari atau tidak bahwa SDM memegang peranan yang sangat penting bagi dinamisasi sebuah organisasi untuk mencapai tujuannya. Peranan disini diartikan sebagai bentuk kemampuan secara maksimal menjalankan tugas yang diberikan oleh organisasi sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya (Tupoksi), yang mencakup seluruh aktifitas yang ada dalam organisasi tersebut, mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan kegiatan, sampai pada evaluasi hasil kegiatan. Maka dari itu, tidak berlebihan apabila SDM diposisikan teratas dari pada faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap aktifitas organisasi, seperti tehnologi, modal, tanah dan lain-lain.
Menurut Buller (1995) dikatakan bahwa kesuksesan organisasi dapat dilihat melalui partnership yang baik antara sumberdaya manusia dan perencanaan strategis yang dilakukan oleh organisasi. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi integrasi antara perencanaan strategis dan sumberdaya manusia dalam organisasi yaitu : lingkungan ( environment ), strategi di tingkat Corporate, bisnis dan sumberdaya manusia sendiri, karakteristik organisasi ( yang meliputi ukuran, sejarah, budaya dan struktur organisasi ), proses dan sistem organisasi (yang meliputi human resource control, informasi, pengambilan keputusan dan komunikasi, tugas dan teknologi, praktik dan falsafah manajemen, skill dan nilai karyawan serta politik organisasi )
Mengingat peranannya yang begitu besar, maka sebuah organisasi harus betul-betul memperhatikan SDM ini secara maksimal. Salah satu wujud nyata yang perlu diperhatikan adalah dengan menciptakan situasi lingkungan kerja yang Humanis atau melakukan perbaikan kualitas kehidupan kerja (Filippo: 1983:412); pada dasarnya, perbaikan kualityas kehidupan kerja ini mengacu pada keadaan menyenangkan terhadap lingkungan pekerjaan bagi setiap karyawan/pegawai dengan tujuan pokoknya adalah untuk mengembangkan lingkungan yang aman, nyaman dan harmonis baik bagi karyawan maupun produksinya
PENGERTIAN KUALITAS KEHIDUPAN KERJA
Menurut Bernardin dan russel (1993:520) Quality of Work Life (QWL) is the degree to which individuals are able to satisfy their important personal need (e.g. need for independent) while imployed by the firm. yaitu tingkat individu-individu yang merasa puas atas kebutuhan-kebutuhan penting mereka –seperti kebutuhan untuk bebas- dimana mereka bekerja dalam suatu perusahaan. Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa kualitas kehidupan kerja ditentukan oleh bagaimana pekerja merasakan perannya dalam setiap organisasi. Peran disini diartikan sebagai bagian dari cara yang sistematis dimana karyawan berpartisipasi didalam setiap pengambilan keputusan yang menyangkut masalah sikap dan terkait dengan pekerjaan, kegiatan, dan organisasi mereka, sehingga peran tersebut mampu memberikan rasa tanggung jawab dan merasa memiliki (sense of belonging) terhadap setiap pekerjaan yang muncul dari kesepakatan dan keputusan bersama (Wheter dan davis, 1996:502).
Sedangkan menurut French (dalam Arifin, 1999:1) mengartikan kualitas kehidupan secara sempit yaitu teknik manajemen yang mencakup gugus kendali mutu, pengayaan pekerjaan (job enrichment), suatu pendekatan untuk bernegosiasi dengan serikat pekerja, upaya manajemen untuk memelihara kebugaran mental para karyawan, hubungan industri yang serasi, manajemen partisipatif dan sebagai salah satu bentuk intervensi dan pengembangan organisasional.
Perkembangan selanjutnya adalah kualitas kehidupan kerja merupakan bentuk filsafat yang diterapkan oleh manajemen dalam mengelola organisasi pada umumnya dan sumberdaya pada khususnya. Sebagai filsafat dasar, kualitas kehidupan kerja merupakan cara pandang manajemen tentang manusia, pekerjaan dan organisasi dengan berbagi aktivitas di dalam tempat kerja (Filippo, 1983:412). Unsur-unsur pokok dalam filsafat tersebut adalah kepedulian manajemen tentang dampak pekerjaan pada manusia, efektifitas organisasi serta pentingnya para karyawan dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan terutama menyangkut pekerjaan karier, penghasilan dan nasib mereka dalam pekerjaannya. Akan tetapi memanusiakan lingkungan kerja dengan mengakui dan menghargai harkat dan martabat sebagai manusia dalam organisasi merupakan masalah yang sangat ditekankan dalam teori ini.
Untuk meningkatkan kualitas kehidupan kerja terdapat sembilan (9) aspek dari sumberdaya manusia di lingkungan perusahaan yang perlu diciptakan, dibina dan dikembangkan yaitu:
• di lingkungan setiap dan semua perusahaan, pekerja sebagai sumberdaya menusia memerlukan komunikasi yang terbuka dalam batas-batas wewenang dan tanggungjawab masing-masing.
• di lingkungan suatu perusahaan, settiap dan semua pekerjaan memerlukan pemberian kesempatan untuk memecahkan konflik dengan perusahaan atau sesama karywan secara terbuka, jujur, dam lain-lain.
• di lingkungan suatu perusahaan, setiap dan semua pegawai memerlukan kerjasama karir masing-masing dalam menghadapi masa depannya.
• di lingkungan suatu perusahaan, setiap pegawai perlu diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan pekerjaan, sesuai dengan posisi, wewenang, dan jabatan masing-masing.
• di lingkungan suatu perusahaan, setiap pegawai perlu dibina dan dikembangkan perasaan bangganya pada pekerjaan dan tempat kerjanya.
• di lingkungan suatu perusahaan, setiap pegawai harus memperoleh kompensasi yang adil, wajar dan mencukupi.
• di lingkungan suatu perusahaan, setiap pegawai memerlukan keamanan lingkungan kerja.
• di lingkungan suatu perusahaan, semua pegawai memerlukan jaminan kelangsungan pekerjaannya
• di lingkungan suatu perusahaan, semua dan setiap pegawai memerlukan perhatian terhadap pemeliharaan kesehatannya agar dapat bekerja secara efektif, efisien, dan produktif.
Sedangkan komponen-komponen utama didalam kualitas kehidupan kerja yang berguna untuk meningkatkan produktifitas karyawan dan memperbaiki kualitas produk serta mengurangi absenteism menurut Wayne (1982:25) adalah:
• Pay (upah)
• Employee benefit (the most frequently mentioned issue were health care, dental care, and relirement)/ masalah yang terkait dengan karyawan seperti jaminan kesehatan dll.
• Job scurity (kemanan kerja)
• Alternative work schedules (adanya jadwal kerja alternatif)
• Job stress
Dampak dari kualitas kehidupan kerja yang buruk salah satu diantaranya adalah timbulnya stress di tempat kerja. Stess kerja merupakan istilah umum yang menunjuk pada tekanan dan masalah yang dialami oleh setiap orang dalam kehidupan kerjanya. Konsep stress mengandung dua makna yaitu positif dan negatif. Jika orang dapat mengatur atau mengelola stress dengan baik maka secara psikologis akan menumbuhkan semangat dan motivasi untuk bekerja. Sebaliknya jika stress terlalu berlebihan akan menyebabkan terganggunya kesehatan baik secara fisik maupun nonfisik (Titin Ekowati, 2009).
Stress yang sering dikeluhkan orang biasanya merupakan suatu perasaan tegang atau tekanan yang dialami ketika tuntutan yang dihadapkan melebihi kekuatan yang ada pada diri kita. Saat ini, reaksi stress pada umumnya berhubungan dengan ancaman finansial, emosional, mental, dan sosial. Oleh karena itu pimpinan suatu organisasi perlu mengelola stress agar karyawan mampu bekerja produktif sehingga kinerja organisasi dapat dicapai secara maksimal ( Anwar Prabu Mangkunegara, 2003 : 179 ).
Menurut Szilagyi ( 1990 ) stress adalah pengalaman yang bersifat internal yang menciptakan adanya ketidakseimbangan pisik dan psikis dalam diri seseorang sebagai akibat dari faktor lingkungan eksternal organisasi atau orang lain. Stress kerja merupakan perasaan yang menekan atau merasa tertekan yang dialami karyawan dalam menghadapi pekerjaan. Stress kerja ini tampak dari simpton antara lain emosi tidak stabil, perasaan tidak tenang, suka menyendiri, sulit tidur, merokok yang berlebihan, tidak bisa rileks, cemas, tegang, gugup, tekanan darah meningkat dan mengalami gangguan pencernaan. Penyebab stress kerja antara lain beban kerja yang dirasakan terlalu berat, waktu kerja yang mendesak, kualitas pengawasan kerja yang rendah, iklim kerja yang tidak sehat, autoritas kerja yang tidak memadai yang berhubungan dengan tanggung jawab, konflik kerja, perbedaan nilai antar karyawan dengan pimpinan yang frustasi dalam kerja.
Stress yang terjadi berlarut – larut dapat menyebabkan karyawan mengalami burn out. Menurut Sulistyantini ( dalam Lailani, dkk, 2005 ), stress dan tekanan kerja dapat mengalami pasang surut dan berubah – ubah. Dengan kata lain , hari ini individu mengalami stress, esok harinya bisa kembali normal. Sedangkan burn out terjadi secara perlahan melalui proses waktu cukup lama. Atau stress merupakan proses adaptasi sementara terhadap tekanan lingkungan sehingga bersifat fluktuatif dan tidak menetap, serta tidak disertai perubahan sikap dan perilaku. Burnout merupakan tahap akhir dari ketidakmampuan individu untuk beradaptasi dengan tekanan lingkungan, dimanan proses terjadinya berjalan perlahan dan waktu yang lama, serta terjadi perubahan sikap – perilaku yang negatif pada orang lain dan pekerjaannya. Burnout bukanlah kondisi yang bersifat temporal dan terjadi secara bertahap, perlahan dan menetap dalam jangka waktu yang lama.
Problem interpersonal dalam lingkungan kerja dapat terjadi terhadap resipien, kolega, supervisor, dan bawahan. Individu yang mengalami burnout dapat membawa problem di tempat kerja ke rumah, yang oleh Jackson dan Maslach disebut dengan negative spillover. Tipikal individu yang mengalami burnout cenderung menarik diri dari kontak sosial dan lebih buruk lagi jika mengisolasi dirinya.
Sikap negatif yang berkembang tidak hanya terjadi pada hubungan interpersonal saja tetapi dapat pula terjadi pada pekerjaan ataupun organisasi. Sikap negatif dalam hubungan interpersonal seperti dehumanisasi, tidak berperasaan (callous), memisahkan diri (detached), acuh tak acuh (indifferent), sinis (synical) terhadap resipien, merupakan karakteristik yang sering muncul pada penderita burnout.
Burnout dapat memperburuk kualitas kerja (Chermis dan Freudenberger, dalam Schultz dan Schultz, 1994) bahkan dapat menyebabkan individu berhenti dari pekerjaan, turnover tinggi dan juga absen, serta rendahnya produktivitas kerja ( Schaufeli dan Buunk, 1996 ). Jaffe dan Scott ( dalam Sulistyantini, 1997 ) menambahkan bahwa burnout dapat menimbulkan masalah bagi organisasi atau perusahaan karena simpton burnout dapat muncul dalam bentuk komitmen kinerja menurun, frustasi, penurunan semangat kerja, turnover, hilangnya dedikasi dan kreativitas individu. Simpton ini juga sering disertai dengan munculnya simpton fisik.
Sikap negatif terhadap pekerjaan atau organisasi yang sering muncul adalah hilangnya motivasi intrinsik individu seperti semangat, antusiasisme, minat dan idealisme. Individu yang mengalami burnout merasa tidak dihargai oleh organisasi atau rekan kerjanya. Individu menjadi tidak perhatian terhadap organisasi dan akhirnya mengkritik dan tidak mempercayai pihak manajemen, rekan kerja, maupun supervisor. Individu yang mengalami burnout merasa tujuan – tujuannya tidak tercapai dengan disertai perasaan serba kurang dan rendahnya harga diri ( self – esteem ).
Menurut Chermiss dan Freudenberget ( dalam Schultz dan Schultz, 1994 ), individu yang mengalami burnout menunjukkan rendahnya energi dan minat pekerjaan. Individu mengalami kelelahan emosional, apatis, murung, mudah marah, dan merasa bosan, cenderung mencari kesalahan pada semua aspek yang ada di lingkungannya, termasuk pada rekan kerja dan bersikap negatif kepada orang lain, serta kualitas kerjanya menurun. Schultz dan Schultz ( 1994 ) menambahkan , sikap negatif yang dapat berkembang adalah individu cenderung bersikap kaku pada pekerjaan, mengikuti peraturan dan prosedur kerja dengan terpaksa karena mereka mengalami kelelahan untuk bersikap fleksibel terhadap pendekatan – pendekatan alternatif.
• Partisipation in decitions that affect them (partisipasi karyawan dalam setiap keputusan)
• Democracy in the workplace
• Profit sharing
• Pansion right (hak pensiun)
DIMENSI KUALITAS KEHIDUPAN KERJA
Menurut Wayne (1989:240) ada dua (2) pandangan mengenai maksud dari Kualitas Kehidupan Kerja. Pertama, Kualitas Kehidupan Kerja adalah sejumlah keadaan dan praktek dari organisasi (contoh: pengkayaan penyelia yang demokratis, keterlibatan pekerja, dan kondisi kerja yang aman). Sementara yang kedua, Kualitas Kehidupan Kerja adalah persepsi karyawan bahwa mereka ingin rasa aman, secrara rela mereka puas, dan mendapatkan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang sebagai layaknya manusia.
Sedangkan menurut Siagian (dalam Arifin, 1999:2) Kualitas Kehidupan Kerja sebagai filsafat manajemen menekankan pada.
• Program kompetitif dengan mempertimbangkan berbagai kebutuhan dan tuntutan karyawan.
• Peraturan perundang-undangan. Seperti ketentuan yang mengatur pencegahan tindakan yang diskriminatif, perlakuan pekerja dengan cara-cara yang manusiawi dan ketentuan sistem imbalan upah minimum.
• Pengakuan keberadaan serikat pekerja dalam organisasi dengan berbagai perannya memperjuangkan kepentingan para pekerja termasuk upah dan gaji, keselamatan kerja, dan penyelesaian pertikaian buruh/karyawan berdasrkan berbagai ketentuan normatif yang berlaku di wilayah tertentu.
• Pentingnya manajemen yang manusiawi, yang pada hakikatnya berarti penampilan gaya manajemen yang demokratik termasuk penyelia yang simpatik.
• Perkayaan pekerjaan, sebab merupakan bagian integral yang sangat penting bagi dinamisasi perusahaan.
• Pentingnya tanggungjawab sosial dari pihak manajemen dan perlakuan manajemen terhadap karyawan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Dari berbagai definisi dan karakteristik Kualitas Kehidupan Kerja di atas, yang selanjutnya oleh Arifin (1999:3) disimpulkan bahwa Kualitas Kehidupan Kerja mempunyai empat (4) dimensi yang perlu diterapkan oleh manajemen untuk mencapai kinerja yang unggul dan produktifitas kerja karyawan, yaitu.
Lingkungan kerja
Lingkungan kerja dalam suatu perusahaan sangat penting untuk diperhatikan manajemen. Meskipun lingkungan kerja tidak melaksnakan proses produksi dalam suatu perusahaan, namun lingkungan kerja mempunyai pengaruh langsung terhadap para karyawan yang melaksanakan proses produksi tersebut. Lingkungan kerja yang memusatkan bagi karyawannya dapat meningkatkan kinerja. Sebaliknya lingkungan kerja yang tidak memadai akan dapat menurunkan kinerja. Sebaliknya lingkungan kerja yang tidak memadai akan dapat menurunkan kinerja dan akhirnya menurunkan motivasi kerja karyawan.
Suatu kondisi lingkungan kerja dikatakan baik atau sesuai apabila manusia dapat melaksnakan kegiatan secara optimal, sehat, aman dan nyaman. Kesesuaian lingkungan kerja dapat dilihat akibatnya dalam jangka waktu yang lama. Lebih jauh lagi lingkungan-lingkungan kerja yang kurang baik dapat menuntut tenaga kerja dan waktu yang lebih banyak dan tidak mendukung diperolehnya rencangan sistem kerja yang efisien.
Beberapa ahli mendifinisikan lingkungan kerja antara lain sebagai berikut :
1. Nitisemito (2000:183) mendefinisikan lingkungan kerja sebagai berikut:
“Lingkungan kerja adalah segala sesuatu yang ada disekitar para pekerja yang dapat mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas-tugas yang diembankan”.
2. Sedarmayati (2001:1) mendefinisikan lingkungan kerja sebagai berikut :
“Lingkungan kerja adalah keseluruhan alat perkakas dan bahan yang dihadapi, lingkungan sekitarnya di mana seseorang bekerja, metode kerjanya, serta pengaturan kerjanya baik sebagai perseorangan maupun sebagai kelompok”.
Dari beberapa pendapat di atas, disimpulkan bahwa lingkungan kerja merupakan segala sesuatu yang ada di sekitar karyawan pada saat bekerja, baik yang berbentuk fisik ataupun non fisik, langsung atau tidak langsung, yang dapat mempengaruhi dirinya dan pekerjaanya saat bekerja.
• Jenis Lingkungan Kerja
Sedarmayanti (2001:21) menyatakan bahwa secara garis besar, jenis ingkungan kerja terbagi menjadi 2 yakni : (a) lingkungan kerja fisik, dan (b) lingkungan kerja non fisik.
• Lingkungan kerja Fisik
Menurut Sedarmayanti (2001:21),
“Lingkungan kerja fisik adalah semua keadaan berbentuk fisik yang terdapat di sekitar tempat kerja yang dapat mempengaruhi karyawan baik secara langsung maupun scara tidak langsung.
Lingkungan kerja fisik dapat dibagi dalam dua kategori, yakni :
1. Lingkungan yang langsung berhubungan dengan karyawan (Seperti: pusat kerja, kursi, meja dan sebagainya)
2. Lingkungan perantara atau lingkungan umum dapat juga disebut lingkungan kerja yang mempengaruhi kondisi manusia, misalnya :temperatur, kelembaban, sirkulasi udara, pencahayaan, kebisingan, getaran mekanis, bau tidak sedap, warna, dan lain-lain.
Untuk dapat memperkecil pengaruh lingkungan fisik terhadap karyawan, maka langkah pertama adalah harus mempelajari manusia, baik mengenai fisik dan tingkah lakunya maupun mengenai fisiknya, kemudian digunakan sebagai dasar memikirkan lingkungan fisik yang sesuai.
• Lingkungan Kerja Non Fisik
Menurut Sadarmayanti (2001:31), “Lingkungan kerja non fisik adalah semua keadaan yang terjadi yang berkaitan dengan hubungan kerja, baik hubungan dengan atasan maupun hubungan sesama rekan kerja, ataupun hubungan dengan bawahan”.
Lingkungan non fisik ini juga merupakan kelompok lingkungan kerja yang tidak bisa diabaikan.
Menurut Nitisemito (2000:171-173) Perusahaan hendaknya dapat mencerminkan kondisi yang mendukung kerja sama antara tingkat atasan, bawahan maupun yang memiliki status jabatan yang sama di perusahaan. Kondisi yang hendaknya diciptakan adalah suasana kekeluargaan, komunikasi yang baik, dan pengendalian diri.
Sentoso (2001:19-21) yang mengutip pernyataan Prof. Myon Woo Lee sang pencetus teori W dalam Ilmu Manajemen Sumber Daya Manusia, bahwa pihak manajemen perusahaan hendaknya membangun suatu iklim dan suasana kerja yang bisa membangkitkan rasa kekeluargaan untuk mencapai tujuan bersama. Pihak manajemen perusahaan juga hendaknya mampu mendorong inisiatif dan kreativitas. Kondisi seperti inilah yang selanjutnya menciptakan antusiasme untuk bersatu dalam organisasi perusahaan untuk mencapai tujuan.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Lingkungan Kerja
Manusia akan mampu melaksanakan kegiatannya dengan baik, sehingga dicapai suatu hasil yang optimal, apabila diantaranya ditunjang oleh suatu kondisi lingkungan yang sesuai. Suatu kondisi lingkungan dikatakan baik atau sesuai apabila manusia dapat melaksanakan kegiatannya secara optimal, sehat, aman, dan nyaman. Ketidaksesuaian lingkungan kerja dapat dilihat akibatnya dalam jangka waktu yang lama. Lebih jauh lagi, Keadaan lingkungan yang kurang baik dapat menuntut tenaga dan waktu yang lebih banyak dan tidak mendukung diperolehnya rancangan sistem kerja yang efisien. Banyak faktor yang mempengaruhi terbentuknya suatu kondisi lingkungan kerja.
Berikut ini beberapa faktor yang diuraikan Sedarmayanti (2001:21) yang dapat mempengaruhi terbentuknya suatu kondisi lingkungan kerja dikaitkan dengan kemampuan karyawan, diantaranya adalah :
1. Penerangan/cahaya di tempat kerja
2. Temperatur/suhu udara di tempat kerja
3. Kelembaban di tempat kerja
4. Sirkulasi udara di tempat kerja
5. Kebisingan di tempat kerja
6. Getaran mekanis di tempat kerja
7. Bau tidak sedap ditempat kerja
8. Tata warna di tempat kerja
9. Dekorasi di tempat kerja
10. Musik di tempat kerja
11. Keamanan di tempat kerja
Kompensasi (Upah atau gaji)
Salah satu tujuan manajemen sumber daya manusia, yaitu memastikan organisasi memiliki tenaga kerja yang bermotivasi dan berkinerja tinggi, serta dilengkapi dengan sarana untuk menghadapi perubahan yang dapat memenuhi kebutuhan pekerjanya. Dalam usaha mendukung pencapaian tenaga kerja yang memiliki motivasi dan berkinerja tinggi, yaitu dengan cara memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
Sistem kompensasi juga berpotensi sebagai salah satu sarana terpenting dalam membentuk perilaku dan mempengaruhi kinerja. Namun demikian banyak organisasi mengabaikan potensi tersebut dengan suatu persepsi bahwa “kompensasi tidak lebih sekadar a cost yang harus diminimisasi”. Tanpa disadari beberapa organisasi yang mengabaikan potensi penting dan berpersepsi keliru telah menempatkan sistem tersebut justru sebagai sarana meningkatkan perilaku yang tidak produktif atau counter productive. Akibatnya muncul sejumlah persoalan personal misalnya low employee motivation, poor job performance, high turn over, irresponsible behaviour dan bahkan employee dishonestry yang diyakini berakar dari sistem kompensasi yang tidak proporsional.
Menurut Handoko, “Faktor pendorong penting yang menyebabkan manusia bekerja adalah adanya kebutuhan dalam diri manusia yang harus dipenuhi (Handoko, 2003, p.30)” Dengan kata lain, berangkat dari keinginan untuk memenuhi kebutuhan hidup, manusia bekerja dengan menjual tenaga, pikiran dan juga waktu yang dimilikinya kepada perusahaan dengan harapan mendapatkan kompensasi (imbalan).
Secara umum kompensasi merupakan sebagian kunci pemecahan bagaimana membuat anggota berbuat sesuai dengan keinginan organisasi. Sistem kompensasi ini akan membantu menciptakan kemauan diantara orang-orang yang berkualitas untuk bergabung dengan organisasi dan melakukan tindakan yang diperlukan organisasi. Secara umum berarti bahwa karyawan harus merasa bahwa dengan melakukannya, mereka akan mendapatkan kebutuhan penting yang mereka perlukan. Dimana didalamnya termasuk interaksi sosial, status, penghargaan, pertumbuhan dan perkembangan.
Menurut J. Long (1998:8) dalam bukunya Compensation in Canada mendefinisikan sistem kompensasi adalah bagian (parsial) dari sistem reward yang hanya berkaitan dengan bagian ekonomi, namun demikian sejak adanya keyakinan bahwa perilaku individual dipengaruhi oleh sistem dalam spektrum yang lebih luas maka sistem kompensasi tidak dapat terpisah dari keseluruhan sistem reward yang disediakan oleh organisasi. Sedangkan reward sendiri adalah semua hal yang disediakan organisasi untuk memenuhi satu atau lebih kebutuhan individual. Adapun dua jenis reward tersebut adalah :
• Ekstrinsik kompensasi, yang memuaskan kebutuhan dasar untuk survival dan security dan juga kebutuhan sosial dan pengakuan. Pemuasan ini diperoleh ari faktor-faktor yang ada di sekeliling para karyawan di sekitar pekerjaannya, misalnya : upah, pengawasan, co worker dan keadaan kerja.
• Intrinsik kompensasi, yang memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi tingkatannya, misalnya untuk kebanggaan, penghargaan, serta pertumbuhan dan perkembangan yang dapat diperoleh dari faktor-faktor yang melekat dalam pekerjaan karyawan itu, seperti tantangan karyawan atau interest suatu pekerjaan yang diberikan, tingkatan keragaman/variasi dalam pekerjaan, adanya umpan balik, dan otoritas pengambilan keputusan dalam pekerjaan serta signifikansi makna pekerjaan bagi nilai-nilai organisasional.
Masalah kompensasi bukan hanya penting karena merupakan dorongan utama seseorang menjadi karyawan, tapi juga besar pengaruh terhadap semangat dan kegairahan kerja para karyawan. Dengan demikian maka setiap badan usaha harus dapat menetapkan kompensasi yang paling tepat, sehingga dapat menopang mencapai tujuan badan usaha secara lebih efektif dan lebih efisien. Seberapa besar kompensasi diberikan harus sedemikian rupa sehingga mampu mengikat para karyawan. Hal ini adalah sangat penting sebab bila komponen yang diberikan kepada para karyawan terlalu kecil bila dibandingkan badan usaha lain, maka hal ini dapat menyebabkan karyawan pindah ke badan usaha yang lain. Dalam perkembangannya sistem kompensasi sendiri mempunyai tiga komponen pokok, yaitu :
• Upah dasar (based pay), merupakan komponen upah dasar bagi kebanyakan karyawan, dan pada umumnya berdasarkan hitungan waktu, seperti jam, hari, minggu, bulan atau per tahun.
• Upah berdasar kinerja (performance related pay), berkaitan dengan monetary reward dengan basis ukuran atau merupakan upah yang didasarkan pada ukuran kinerja individu, kelompok atau organisasi.
• Upah tidak langsung dikenal sebagai employee benefit “keuntungan bagi karyawan” terdiri dari barang-barang jasa non cash item atau services yang secara langsung memuaskan sejumlah kebutuhan spesifik karyawan, seperti jaminan keamanan pendapatan (income security) termasuk asuransi jiwa, perlindungan kesehatan termasuk medical & dental plan dan pensiun.
Menurut Mondy, bentuk dari kompensasi yang diberikan perusahaan kepada karyawan dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu: (1) financial compensation, dan (2) non-financial compensation,
Financial compensation (kompensasi finansial)
Kompensasi finansial artinya kompensasi yang diwujudkan dengan sejumlah uang kartal kepada karyawan yang bersangkutan. Kompensasi finansial implementasinya dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu:
• Direct Financial compensation (kompensasi finansial langsung) Kompensasi finansial langsung adalah pembayaran berbentuk uang yang karyawan terima secara langsung dalam bentuk gaji/upah, tunjangan ekonomi, bonus dan komisi. Gaji adalah balas jasa yang dibayar secara periodik kepada karyawan tetap serta mempunyai jaminan yang pasti, sedangkan upah adalah balas jasa yang dibayarkan kepada pekerja dengan berpedoman pada perjanjian yang disepakati pembayarannya.
• Indirect Financial compensation (kompensasi finansial tak langsung) Kompensasi finansial tidak langsung adalah termasuk semua penghargaan keuangan yang tidak termasuk kompensasi langsung. Wujud dari kompensasi tak langsung meliputi program asuransi tenaga kerja (jamsostek), pertolongan sosial, pembayaran biaya sakit (berobat), cuti dan
lain-lain.
Non-financial compensation (kompensasi non finansial)
Kompensasi non-finansial adalah balas jasa yang diberikan perusahaan kepada karyawan bukan berbentuk uang, tapi berwujud fasilitas. Kompensasi jenis ini dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu:
• Non financial the job (kompensasi berkaitan dengan pekerjaan)
Kompensasi non finansial mengenai pekerjaan ini dapat berupa pekerjaan yang menarik, kesempatan untuk berkembang, pelatihan, wewenang dan tanggung jawab, penghargaan atas kinerja. Kompensasi bentuk ini merupakan perwujudan dari pemenuhan kebutuhan harga diri (esteem) dan aktualisasi (self actualization).
• Non financial job environment (kompensasi berkaitan dengan lingkungan pekerjaan)
Kompensasi non finansial mengenai lingkungan pekerjaan ini dapat berupa supervisi kompetensi (competent supervision), kondisi kerja yang mendukung (comfortable working conditions), pembagian kerja (job sharing). (Mondy, 2003, p.442)
Besarnya kompensasi yang diterima karyawan mencerminkan jabatan, status, dan tingkat pemenuhan kebutuhan yang dinikmati oleh karyawan bersama keluarganya. Apabila kompensasi yang diterima karyawan semakin besar, berarti jabatannya semakin tinggi, statusnya semakin baik, dan pemenuhan kebutuhan yang dinikmatinya semakin banyak pula. Dengan demikian kepuasan kerja karyawan semakin baik dan hasil kerja pun akan baik.
Kepentingan perusahaan dengan pemberian kompensasi yaitu memperoleh imbalan prestasi kerja yang lebih besar dari karyawan. Sedangkan kepentingan karyawan atas kompensasi yang diterima, yaitu dapat memenuhi kebutuhan dan keinginannya dan menjadi keamanan ekonomi rumah tangganya. Bagi perusahaan, kompensasi merupakan faktor utama dalam kepegawaian. Kebijakan sumber daya manusia banyak berhubungan dengan pertimbangan untuk menentukan kompensasi karyawan. Tingkat besar-kecilnya kompensasi sangat berkaitan dengan tingkat pendidikan, tingkat jabatan, dan masa kerja karyawan
Partisipasi karyawan
Pandangan dari pemecahan masalah secara partisipatif melibatkan anggota-anggota organisasi pada berbagai tingkatan. Manajemen partisipatif adalah suatu sistem dimana anggota-anggotanya dilibatkan dalam pelaksanaan operasional atau kegiatan bisnis di bawah arahan dari penyelia. Dalam hal ini pekerja memiliki kesempatan untuk berpartisipasi atau terlibat didalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi secara langsung ataupun tidak langsung terhadap pekerjaan mereka. Kualitas kehidupan kerja tidak dapat didelegasikan secara sepihak oleh manajemen, namun melalui kesepakatan antara atasan dan bawahan yang kemudian oleh Arifin (1999:3) istilah tersebut dikenal dengan konsep employee involment (keterlibatan pekerja).
Keterlibatan pekerja diartikan sebagai bentuk perizinan para pekerja untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi mereka. Dimana pihak manajemen melepaskan tanggungjawab dan peranan pengambilan keputusan. Hal ini membuktikan bahwa adanya rasa saling percaya antara pihak manajemen dengan pekerja tanpa harus saling curiga.
Secara teoritis manajemen partisipatif diklasifikasi menjadi dua (2) bagian. Pertama, setiap individu dalam suatu organisasi sanggup untuk menyumbangkan perbaikan-perbaikan dalam kerja yang mereka lakukan. Ini berarti bahwa setiap orang dalam tugas-tugas khusus adalah pekerja yang paling tahu bidang garapannya masing-masing. Terlebih jika pekerja dimotivasi untuk dikembangkan lebih banyak untuk mempengaruhi situasi kerja. Para pekerja lebih cenderung untuk lebih komitmen terhadap pencapaian tujuan dan perubahan dimana mereka turut membentuknya. Kedua, bahwa hasil dari kelompok kerja bersama-sama akan lebih besar dari pada jumlah usaha individu secara terpisah.
Restrukturisasi kerja.
Perhatian selanjutnya dalam konteks Kualitas kehidupan kerja adalah restrukturisasi kerja yang secara alami dilakukan oleh karyawan dan sistem kerja yang melingkupinya. restrukturisasi kerja mencakup pengawasan, penetapan kerja terutama prosedur dalam pengembangan para pekerja dengan keterlibatan pekerja. Dengan demikian akan membuat pekerja menjadi interdependensi sehingga akan terbentur kerjasama yang solid antar tim. Jika kondisi ini sudah menjadi budaya dalam organisasi, maka untuk mencapai tingkat kerja yang diinginkan tidak sulit dalam hal ini Kualitas kehidupan kerja mengandung pengertian bahwa kehidupan kerja seseaorang, terdapat kemungkinan untuk mengembangkan keterampilan dan kemampuan yang dimilikinya.
Daftar Pustaka
Alex S. Nitisemito (2000). Manajemen Personalia: Manajemen Sumber Daya Manusia, Ed. 3, Ghalia Indonesia, Jakarta
Arifin, Nur. Aplikasi konsep Quality of Worklife (QWL) dan Upaya Menumbuhkan Motivasi Karyawan berkinerja Unggul. Usahawan No. 10 Th. XXVIII. Oktober. 1999
Bernadin and Russel, Joice E.A. 1993. Human Resources Management, An Experiential Approach. By McGraw-Hill, Inc. Newyork, USA
Cascio, Wayne F. 1989. Managing Human Resource. Productivity, Quality of Worklife, Profit. Second Edition. McGraw-Hill, Inc. Singapura.
Filippo B. Edwin. 1983. Personal Management. Sixth Edition. McGraw-Hill. International Book Company, USA
Mangkunegara, Anwar P, 2003, Perencanaan & Pengembangan Sumberdaya Manusia, Bandung : Refika Aditama.
Paul. F. Buller, 1995, Successful Partnerships : HR and Strategic Planning at Eight Top Firms, Academy of Management Executive, Vol9. No.2
Schaufeli, W.B., and Buunk, B.P.1996. Profesional Burnout, Handbook of Work and Health Psychology., Schabracq, M.J. Winnubst, J.A.M., Cooper, C.L. ( Editor ). Chichester : John Wiley and Sons Ltd.
Schultz, D.P., and Schultz, S.E. 1994. Psycology and Work Today : an Introduction to Industrial an Organizational Psycology. Sixth Edition, New York : Macmillan Publishing Company.
Sedarmayanti (2001). Sumber Daya Manusia dan Produktivitas Kerja. Mandar Maju, Bandung
Suryadi Perwiro Sentono (2001). Model Manajemen Sumber Daya Manusia Indonesia, Asia dan Timur Jauh, Bumi Aksara, Jakarta
Sulistyantini, S.R. 1997. Hubungan Antara Dukungan Sosial dengan Burnout pada Perawat di Rumah Sakit Angkatan Laut Jakarta Pusat. Hasil Penelitian ( tidak diterbitkan ). Jogjakarta : Fakultas Psikologi, UGM.
Titin ekowati, 2009, Quality of Work Life : Upaya Antisipasi Stress di Tempat Kerja. Jurnal, published in www.um-pwr.ac.id
Werther, William B. JR. and Davis, Keith. 1996. Human Resources and Personal management. Fifth Edition. McGraw-Hill, Inc Boston, USA
0 komentar:
Post a Comment