Home | Looking for something? Sign In | New here? Sign Up | Log out

Thursday, October 4, 2007

Ditjen Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Lakukan Penyusunan Indikator Kesejahteraan Masyarakat Pesisir

Thursday, October 4, 2007
DITJEN P3K LAKUKAN PENYUSUNAN INDIKATOR KESEJAHTERAAN MASYARAKAT PESISIR
Upaya pembangunan perikanan telah menciptakan devisa cukup besar, namun hanya sebagain nelayan saja yang sudah mengalami perbaikan pendapatan, sedangkan sebagian besar nelayan masih dalam kondisi kemiskinan. Beberapa faktor yang menyebabkan kemiskinan nelayan antara lain : (1) rendahnya tingkat teknologi penangkapan ; (2) kecilnya skala usaha ; (3) belum efisiennya sistem pemasaran hasil ikan dan (4) status nelayan yang sebagian besar adalah buruh. Dalam mengukur tingkat kesejahteraan nelayan ada beberapa indikator yang digunakan seperti indikator Perubahan Pendapatan Nelayan dan indikator Nilai Tukar Nelayan (NTN).
Konsep yang dilakukan Ditjen Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (P3K) dalam melakukan penyusunan indikator kesejahteraan masyarakat pesisir adalah dengan menggunakan Konsep Pemetaan Kemiskinan (Poverty Mapping). Tahap awal Ditjen P3K baru melakukan sampling di Kabupaten Sukabumi Propinsi Jawa Barat, Kabupaten Kendari Propinsi Sulawesi Tenggara dan Pesisir Pantai Propinsi Jawa Timur.


Peta kemiskinan di Propinsi Jawa Timur diukur dengan The Proverty Headcount Index yang menggambarkan persentase dari populasi yang hidup di dalam keluarga dengan pengeluaran konsumsi per kapita dibawah garis kemiskinan ; The Proverty Gap Index yaitu kedalaman kemiskinan di suatu wilayah merupakan perbedaan rata-rata pendapatan orang miskin dari garis kemiskinan sebagai suatu proporsi dari garis kemiskinan tersebut; dan The Severity of Poverty yang menunjukkan kepelikan kemiskinan di suatu wilayah.

Hasil akhir dari penelitian menyebutkan, bahwa indikator kesejahteraan nelayan yang terangkum dalam Nilai Tukar Nelayan (NTN) masih dapat dipertahankan sebagai salah satu referensi dasar yang amat berharga untuk merumuskan kebijakan pembangunan sektor kelautan dan perikanan. Dalam mempertajam analisis dan kebijakan pemberdayaan masyarakat nelayan, indikator NTN masih perlu disandingkan dan dilengkapi dengan data dasar dan indikator kemiskinan nelayan di daerah pesisir dan kawasan pantai di Indonesia.

Kesimpulan dan Saran Hasil Studi

Hasil studi Pengukurun Indikator Kesejahteraan yang dilakukan diperoleh kesimpulan dan saran sebagai berikut :

1. Indikator Kesejahteraan Rakyat

1. Tingkat Kesehatan
Di Kabupaten Sukabumi, pada tahun 2000 derajat kesehatan yang ditunjukkan dengan indikator persalinan oleh tenaga medis mengalami kenaikan dari 18,53 persen menjadi 20,88 persen. Hal ini menunjukkan adanya kesadaran masyarakat bahwa persalinan yang dibantu oleh tenaga medis lebih aman jika dibandingkan dengan non medis.

Ditinjau dari tempat dan cara berobat, Penduduk di Kota Kendari sebanyak 31,22 persen penduduk di Kota Kendari masih bergantung kepada pelayanan Puskesmas, dismping mereka mendapat pelayanan dari dokter praktek dan Rumah Sakit Pemerintah. Untuk kondisi di tingkat kabupaten, seperti Kabupaten Kendari, pelayanan kesehatan dari Puskesmas dan Puskesmas Pembantu menjadi tulang punggung pengobatan masyarakat.
2. Pendidikan
Dalam hal pendidikan, yang paling menarik ditemukan di Propinsi Sulawesi Tenggara ialah persentase penduduk yang tidak melanjutkan sekolah lagi terlalu besar. Angka putus sekolah ini mencapai 64,24 persen untuk tingkat Kota Kendari, sebanyak 69,53 persen untuk tingkat Kabupaten Kendari dan sebanyak 65,85 persen untuk tingkat Propinsi Sulawesi Tenggara. Angka ini terlalu besar, mencengangkan dan cenderung tidak masuk akal.

Ditinjau dari pendidikan yang ditamatkan, penduduk di Kota Kendari mempunyai struktur pendidikan masyarakat yang lebih maju daripada penduduk yang tinggal di tingkat kabupaten, seperti di Kabupaten Kendari. Di Kota Kendari, penduduk yang berhasil menyelesaikan tingkat pendidikan SLTA ke atas sebanyak 45,32 persen, sedangkan penduduk yang tinggal di Kabupaten Kendari sebanyak 67,69 persen dan di kabupaten–kabupaten lainnya di Propinsi Sulawesi Tenggara sebanyak 65,72 persen hanya berhasil ataupun tidak tamat tingkat pendidikan Sekolah Dasar.

Di Kabupaten Sukabumi, sampai tahun 2000 tingkat pendidikan penduduk di relatif masih rendah, dimana penduduk yang berumur 10 tahun keatas tercatat 81,32 persen berpendidikan tamat SD ke bawah, sedangkan penduduk yang tamat SLTP sebesar 11,07 persen, tamat SLTA 6,79 persen dan tamat perguruan tinggi sebesar 0,82 persen.
3. Tenaga Kerja
Penduduk yang bekerja menurut lapangan usaha di Kota Kendari berbasiskan kepada lapangan usaha perdagangan dan jasa (64,73 persen), sedangkan penduduk yang tinggal di Kabupaten Kendari dan Kabupaten lainnya di Propinsi Sulawesi Tenggara bekerja pada lapangan usaha di bidang pertanian (69,34 persen dan 60,70 persen). Lapangan usaha di bidang pertanian, khususnya perikanan di Kota Kendari ditekuni oleh 8,96 persen penduduknya.

Bila dilihat dari lapangan pekerjaan, sektor pertanian masih merupakan lapangan pekerjaan yang banyak menyerap tenaga kerja (penduduk usia 10 tahun keatas yang bekerja) di Kabupaten Sukabumi sebesar 45,73 persen. Kemudian sektor perdagangan, hotel dan restauran 20,47 persen, sektor industri pengolahan 11,23 persen dan sektor angkutan dan komunikasi 9,00 persen.
4. Mortalitas dan Fertilitas
Salah satu ukuran indeks kualitas sumberdaya manusia ialah dengan menghitung jumlah bayi yang lahir meninggal per 1.000 kelahiran, tetapi rupanya data statistik yang seperti ini tidak selalu tersedia. Sebagai alternatifnya adalah menggunakan ukuran jumlah anak yang meninggal atau jumlah anak yang hidup. Ketersediaan fasilitas sarana kesehatan yang lebih baik di Kota Kendari telah berhasil meningkatkan jumlah anak yang hidup, yakni 86,31 persen daripada jumlah anak yang hidup di Kabupaten Kendari yang sebanyak 76,40 persen dan di tingkat Propinsi Sulawesi Tenggara yang sebesar 72,92 persen.

Di Kabupaten Sukabumi, persentase penduduk wanita yang pernah kawin usia 15-49 tahun menurut jumlah anak yang dilahirkan hidup, yang paling tinggi persentasenya adalah yang memiliki 2 anak saja yaitu sebesar 22,78 persen. Sementara yang melahirkan anak 5 atau lebih justru mengalami penurunan, meskipun tidak terlalu besar. Hal ini menunjukkan keberhasilan program KB.
5. Perumahan
Luas lantai rumah di Kota Kendari untuk ukuran lebih dari 100 meter persegi sebanyak 23,37 persen, sedangkan di Kabupaten Kendari sebanyak 14,01 persen dan di Propinsi Sulawesi Tenggara sebanyak 11,88 persen. Secara kasar dapat diketahui bahwa penduduk yang lebih sejahtera dinikmati di Kota Kendari daripada di Kabupaten Kendari dan kabupaten-kabupaten lainnya. Untuk penduduk yang tinggal di pedesaan, semestinya luas lantai rumahnya dapat lebih leluasa karena tanahnya yang masih luas.

Kualitas perumahan di Sukabumi secara umum relatif baik. Presentase rumah tinggal yang berlantai tanah pda tahun 2000 sebesar 0,23 persen, angka tersebut menunjukkan penurunan jika dibandingkan tahun 1999 (2,66 persen). Rumah dengan atap yang layak 99,77 persen dan rumah yang berdinding tembok 51,02 persen. Ini berarti hampir separuh lebih kondisi perumahan telah memenuhi syarat kenyamanan.
6. Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga
Rumah tangga yang hidup di bawah batas kemiskinan dengan golongan pengeluaran di bawah Rp 100 ribu per kapita per bulan di kota atau dibawah Rp 80 ribu per kapita per bulan di desa dijumpai relatif banyak di desa daripada di kota. Rumah tangga yang hidup di bawah pengeluaran Rp 100 ribu per kapita per bulan di Kota Kendari sebanyak 14,98 persen, sedangkan rumah tangga yang hidup di bawah pengeluaran Rp 80 ribu per kapita per bulan di Kabupaten Kendari sebanyak 57,40 persen dan di Propinsi Sulawesi Tenggara sebanyak 34,93 persen. Yang paling menarik ialah di Kota Kendari sudah tidak ada lagi rumah tangga yang pengeluarannya di bawah Rp 40 ribu per kapita per bulan.

Proporsi pengeluaran konsumsi rumah tangga di Propinsi Sulawesi Tenggara sebagaimana dengan kondisi di propinsi-propinsi lainnya masih lebih banyak digunakan untuk membeli makanan daripada untuk non makanan. Ditingkat propinsi, rumah tangga membelanjakan 69,58 persen pengeluarannya untuk makanan, sedangkan di Kabupaten Kendari sebesar 76,96 persen dan di Kota Kendari sebesar 63,33 persen.

Di Kabupatem Sukabumi, persentase pengeluaran rumah tangga untuk kebutuhan makanan masih dominan yaitu sekitar 70 persen. Sementara sisanya (30 persen) untuk non makanan. Pada tahun 2000, lebih dari 30 persen pengeluaran bahan makanan dibelanjakan untuk kelompok padi-padian. Ini menandakan bahwa sumber karbohidrat yang dipilih penduduk Sukabumi masih bersumber pada padi-padian. Keadaan ini menunjukkan penurunan dari tahun sebelumnya (39 persen). Sebagai sumber protein, kelompok komoditi ikan jauh lebih banyak dikonsumsi dibandingkan dengan daging, komoditi telur dan susu masing-masing dengan persentase 10,36 persen; 8,49 persen dan 5,14 persen.

2. Nilai Tukar Nelayan

Nilai tukar nelayan digunakan sebagai pendekatan untuk mengetahui perkembangan tingkat kesejahteraan nelayan. Data yang ada menunjukkan bahwa kehidupan nelayan di Kota Kendari mengalami pasang surut kesejahteraannya. Perubahan tersebut bukan hanya dialami oleh anak buah kapal, juga dialami oleh nahkoda dan juragan sampel. Mereka yang dirugikan oleh nilai tukar nelayan di bawah indeks 100 persen dialami oleh nahkoda kapal purse seine, ABK terampil, ABK biasa Pole & Line, juragan pancing tonda, dan ABK biasa pancing tonda. Beberapa kemungkinan penyebab nilai tukar nelayan berada di bawah indeks 100 persen dianalisis pada Sub bab Kamiskinan Pada Masyarakat Pesisir Pantai.

3. Kemiskinan Pada Masyarakat Pesisir Pantai

* Penerimaan
Penerimaan nelayan di daerah studi pada saat dilakukan survei umumnya relatif besar, dengan nilai berkisar antara Rp.50.000 ribu sampai Rp.100.000,- per hari. Penurunan nilai tukar nelayan secara langsung tidak berhubungan dengan penerimaan nelayan, tetapi faktor pengeluaran. Sebab perkembangan penerimaan nelayan selama Bulan Agustus sampai Desember tahun 2002 umumnya menunjukkan peningkatan. Peluang penurunan nilai tukar nelayan lebih terarah kepada perkembangan pengeluaran nelayan.

Di Kabupaten Sukabumi,periode bulan Agustus – Oktober merupakan period puncak dimana hasil tangkapan relatif lebih baik dibandingkan dengan bulan-bulan lalu. Pada saat musim kemarau dan terang bulan jumlah tangkapan ikan relatif lebih banyak dibandingkan musim hujan.
* Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga
Pengeluaran konsumsi rumah tangga nelayan di daerah survei selama Bulan Agustus sampai Desember tahun 2002 memang menunjukkan fluaktuasi. Nahkoda kapal purse seine, ABK terampil, ABK biasa Pole & Line, juragan pancing tonda, dan ABK biasa pancing tonda adalah nelayan yang mengalami penurunan nilai tukar merupakan orang yang sama mengalami peningkatan pengeluaran konsumsi rumah tangga. Oleh karena itu perubahan perilaku dalam pengeluaran konsumsi rumah tangga yang lebih besar daripada peningkatan penerimaan telah mempengaruhi nilai tukar nelayan.

4. Peta Kemiskinan di Jawa Timur

* The Poverty Headcount Index
The Poverty Headcount Index atau The Incidence of Poverty menggambarkan persentase dari populasi yang hidup didalam kemlaurga dengan pengeluaran konsumsi per kapita di bawah garis kemiskinan. Berdasarkan data yang ada masyarakat desa yang tinggal di pesisir pantai Jawa Timur rata-rata sebanyak 33,86 persen dari populasi yang hidup di dalam kelaurga dengan pengeluaran konsumsi per kapita di bawah garis kemiskinan. Artinya, sekitar sepertiga dari rumah tangga masyarakat desa yang tinggal di pesisir pantai Propinsi Jawa Timur itu miskin. Trenggalek (58,32 persen) dan Sumenep (52,15 persen) merupakan daerah menonjol yang merupakan populasi yang hiduo di dalam kelaurga dengan pengeluaran konsumsi per kapita di bawah garis kemiskinan berjumlah lebih dari setengahnya adalah penduduk miskin. Daerah lainnya yang berada di atas rata-rata Poverty Headcount Index Jawa Timur ialah Pacitan, Blitar, Malang, Lumajang, Jember, Pasuruan, Sampang .
* The Poverty Gap Index
The Poverty Gap Index atau The Dept of Poverty adalah kedalaman kemiskinan di suatu wilayah yang merupakan perbedaan rata-rata pendapatan orang miskin dari garis kemiskinan sebagai suatu proporsi dari garis kemiskinan tersebut. Kedalaman kemiskinan pada masyarakat desa yang tinggal di pesisir pantai Jawa Timur rata-rata sebesar 7,5 persen. Berdasarkan data yang ada diketahui bahwa kedalaman kemiskinan yang terbesar terjadia di Trenggalek 15,78 persen. Daerah lain yang mempunyai kedalaman kemiskinan melebihi rata-rata di Jawa Timur dijumpai di daerah Pacitan, Blitar, Malang, Lumajang, Jember, Pasuruan, Sampang, Sumenep, dan Pasuruan.
* The Severity of Poverty
The Severity of Proverty menunjukkan kepelikan kemsikinan di suatu wilayah. Indikator ini memperhitungkan jarak yang memisahkan orang msikin dari garis kemiskinan dan ketimpangan diantara orang msikin. Rata-rata kepelikan kemiskinan pada masyarakat desa yang tinggal di pesisir pantai Jawa Timur sebesar 2,42 persen. Trenggalek (5,78 persen ), Kabupatena Pasuruan (4,07 persen), dan Sumenep (4,14 persen) meruapakn daerah desa pesisir pantai yang mempunyai kepelikan kemiskinan yang menonjol di Jawa Timur. Daerah lainnya yang melebihi rata-rata kepelikan kemiskinan di Jawa Timur dijumpai di daerah Pacitan, Blitar, Malang, Lumajang, Jember, Tuban, Sampang dan Kota Pasuruan.

Rekomendasi
Indikator kesejahteraan nelayan yang terangkum dalam Nilai Tukar Nelayan (NTN) masih dapat dipertahankan sebagai salah satu referensi dasar yang amat berharga untuk merumuskan kebijakan pembangunan sektor kelautan dan perikanan. Untuk mempertajam analisis dan kebijakan pemberdayaan masyarakat nelayan, indikator NTN masih perlu disandingkan dan dilengkapi dengan data dasar dan indikator kemiskinan nelayan di daerah pesisir dan kawasan pantai di Indonesia. Oleh karena itu, beberapa rekomendasi berikut perlu diperhatikan dan ditindaklanjuti secara berkesinambungan :

1.
Pemerintah perlu mempelopori upaya sistimatis untuk senantiasa memperkaya dan menyempurnakan indikator NTN, misalnya dengan mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi nelayan, stratifikasi dan klasifikasi jenis nelayan, siklus produksi dan musim tangkap, agar diperoleh indikator yang lebih akurat, tidak sekedar angka rata-rata kasar perbandingan nilai ekonomis yang diterima dengan nilai yang dikeluarkan nelayan.
2.
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) harus mampu meyakinkan instansi lain, terutama Badan Pusat Statistik (BPS), tentang betapa pentingnya indikator NTN ini diketahui dan disebarkan kepada masyarakat luas. Oleh karena itu, langkah pemutakhiran (updating) terhadap NTN, diskusi publik dan pengumuman secara berkala angka NTN, bersamaan dengan angka Nilai Tukar Petani (NTP) akan dapat menciptakan kepedulian (concerns) yang lebih besar dari segenap anggota masyarakat, tidak hanya dari kalangan akademis, politisi dan birokrasi, tapi juga masyarakat umum.
3.
Selain dengan NTN, ukuran tingkat kesejahteraan nelayan dapat disempurnakan dengan cara integrasi ke dalam ukuran Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI), yang memuat indikator sosial penting seperti angka harapanhidup,tingkat pendidikan,tingkat kesehatan ibu dan bayi, tingkat melek huruf, tingkat kesetaraan gender dan sebagainya. Kendala utama yang perlu diperhatikan adalah bahwa penyusunan IPM tersebut di Indonesia masih berbasis ”proyek” dengan manajemen ad-hoc, yang bertumpu pada kerjasama Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Badan Pusat Statistik (BPS), dan Program Pembangunan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United Nations Development Proramme (UNDP), dengan bsis utama adalah data hasil Survai Sosial Ekonomi Nasional (Susenas ) yang dilaksanakan setiap tiga tahun. Artinya, pemerintah harus memiliki komitmen untuk menyusun data dasar tersebut secara berkala dan berkesinambungan, apabila pembangunan sumber daya manusia telah diyakini sebagai salah satu strategi pembangunan bangsa yang berkualitas.
4.
Secara umum pemerintah perlu memprakarsai pengukuran indikator kemiskinan dari berbagai perspektif, seperti indikator insiden kemiskinan ( The Poverty Headcount Index ), tingkat kedalaman kemiskinan (The Depth of Poverty) dan tingkat keparahan kemiskinan ( The Severity of Poverty Gap ). Langkah ini memerlukan waktu lama dan kesabran ekstra, karena pengalaman lembaga riset independen SMERU menghabiskanwaktu dua tahu untuk menyusun data dasar kemiskinan nelayan dan masyarakat pesisir, Departemen Kelautan dan Perikanan perlu melakukan hal yang sama. Khusus untuk propinsi yang telah memiliki data dasar kemiskinan di atas, metode overlay antara peta kemsikinan dan peta fisik atau peta administrasi dapat dilakukan dengan mudah. Dalam waktu dekat, DKP perlu memfokuskan pada penyusunan secara berkala data dasar kemiskinan dan kesejahteraan nelayan dan masyarakat pesisir di seluruh propinsi Indoensia.
5.
Akhirnya, karena langkah-langkah ini membutuhkan dukungan dari berbagai pihak, terutama sesama instansi pemerintah, DKP perlu secara sistematis dan istiqamah melakukan sosialisasi dan diseminasi tentang penting dan mendesaknya data dasar indikator kesejahteraan, indikator pembangunan manusia dan tingkat kemsikinan nelayan dan masyarakat pesisir. Penguasaan, validitas dan keakuratan data dasar adalah salah satu langklah maju dalam proses analisis, perumusan dan implementasi kebijakan pemberdayaan nelayan dan masyarakat pesisir serta pembangunan sektor kelautan dan perikanan secara umum.

Sumber : Ditjen Pesisir dan Pulau-pulau Kecil

0 komentar:

Post a Comment

 

Statistik Pengunjung