Home | Looking for something? Sign In | New here? Sign Up | Log out

Sunday, February 14, 2010

Kemiskinan Nelayan : Permasalahan dan Upaya Penanggulangan

Sunday, February 14, 2010
Selama tiga dekade, berbagai upaya telah dilakukan untuk mengurangi kemiskinan. Upaya-upaya tersebut telah berhasil menurunkan jumlah penduduk miskin dari 54,2 juta jiwa (40,1%) pada tahun 1976 menjadi 22,5 juta jiwa (11,3%) tahun 1996.
Namun, krisis ekonomi yang terjadi sejak Juli 1997, telah membawa dampak negatif bagi kehidupan masyarakat, termasuk menambah kembali jumlah penduduk miskin. Menurut perhitungan BPS, pada tahun 1998 jumlah penduduk miskin meningkat menjadi 49,5 juta jiwa (24,2%).

Sejalan dengan membaiknya kondisi perekonomian, jumlah penduduk miskin menurun secara bertahap. Pada tahun 2004, jumlah penduduk miskin diperkirakan sebanyak 36,1 juta jiwa (16,6%). Dari jumlah tersebut, 11,5 juta jiwa (12,6%) berada di perkotaan dan 24,6 juta jiwa (19,5%) berada di perdesaan.

Terintegrasi dan Sistemik
Adanya penurunan jumlah penduduk miskin bukan berarti bahwa persoalan kemiskinan telah selesai. Di samping jumlah penduduk miskin eksisting masih terbilang banyak, belakangan Indonesia juga didera beragam persoalan, mulai dari bencana gempa bumi. tsunami, busung lapar, dll yang memperberat beban penduduk miskin dan diperkirakan menambah jumlah penduduk miskin hingga 1 juta jiwa.

Krusialnya masalah kemiskinan dan betapa masalah ini sangat menyentuh kebutuhan masyarakat yang paling mendasar merupakan hal penting yang menjadi perhatian penuh pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah telah melakukan upaya pengarusutamaan (mainstreaming) program-program penanggulangan kemiskinan di seluruh kementerian dan lembaga pemerintah non departemen. Di samping itu, telah disusun pula Strategi Nasional penanggulangan kemiskinan yang menjadi acuan dalam penanggulangan kemiskinan dan dijabarkan dalam rencana kerja pemerintah setiap tahunnya.

Berbicara masalah kemiskinan, nelayan seringkali dipandang sebagai salah satu kelompok masyarakat yang identik dengan kemiskinan. Anggapan ini patut direnungkan bersama, mengingat kenyataan bahwa struktur usaha perikanan tangkap sejauh ini memang masih didominasi oleh usaha skala kecil.

Sebagian besar nelayan yang tergolong miskin merupakan nelayan artisanal yang memiliki keterbatasan kapasitas penangkapan baik penguasaan teknologi, metode penangkapan, maupun permodalan. Masalah kemiskinan juga disebabkan adanya ketimpangan pemanfaatan sumber daya ikan. Di satu sisi, ada daerah yang padat tangkap dengan jumlah nelayan besar terutama di Pantura Jawa. Di sisi lain ada daerah yang masih potential namun jumlah nelayannya sedikit seperti di Papua, Maluku, NTT dan Ternate. Masalah strukturaI yang dihadapi nelayan makin ditambah dengan persoalan kultural seperti gaya hidup yang tidak produktif dan tidak efisien.

Secara alami ada interaksi yang sangat kuat antara ketersediaan sumber daya ikan, jumlah, perilaku, dan kapasitas nelayan serta ekonomi dari hasil usaha penangkapan. Oleh karena itu, kemiskinan nelayan harus dipandang sebagai suatu sistem yang memiliki komponen saling berinteraksi. Dengan demikian pendekatan yang paling tepat dalam penanggulangan kemiskinan adalah dengan pendekatan kesisteman.

Dengan pendekatan kesisteman, Ditjen Perikanan Tangkap telah mencanangkan dan melaksanakan berbagai program untuk menanggulangi kemiskinan di kalangan nelayan. Berikut beberapa program penanggulangan kemiskinan dimaksud.

Unit Bisnis Perikanan Terpadu
Seringkali nelayan dihadapkan pada sistem tata niaga yang tidak berpihak bahkan sangat merugikan nelayan. Pada saat akan membeli faktor produksi nelayan dihadapkan pada harga yang sangat tinggi, sementara pada saat akan menjual hasil tangkapan, nelayan dihadapkan pada harga jual yang sangat rendah. Hal ini disebabkan oleh panjang dan masih sangat berperannya para pedagang perantara.

Untuk mengatasi masalah di atas, sejak tahun 2004 Ditjen Perikanan Tangkap mencanangkan pembangunan Unit Bisnis Perikanan Terpadu (UBPT) dil sentra-sentra nelayan (Pelabuhan Perikanan). Sasaran dari pendirian UBPT adalah:

• Terwujudnya kemudahan asses terhadap faktor (input) produksi dan pemasaran hasil bagi usaha perikanan tangkap skala kecil dengan harga yang wajar;
• Makin terberdayakannya koperasi perikanan/KUB, termasuk dalam hal manajemen, penguatan modal maupun peningkatan fasilitas pendukung usaha.

Sebagai satu bentuk unit bisnis terpadu, maka keberadaan UBPT tidak hanya perlu dukungan pemerintah, tetapi juga memerlukan peran serta aktif pihak swasta. Dengan demikian, diharapkan akan makin banyak investasi swasta di pelabuhan perikanan sehingga hal ini tidak saja menguntungkan nelayan, tetapi juga membawa manfaat bagi sektor swasta sendiri.

SPBN/SPBN
Saat ini bahan bakar minyak (BBM) merupakan input produksi yang mempunyai peranan sangat penting bagi kelangsungan usaha penangkapan ikan. Hasil identifikasi dan supervisi di berbagai sentra kegiatan nelayan menunjukkan bahwa kontribusi komponen biaya BBM terhadap keseluruhan biaya operasi penangkapan ikan per trip berkisar antara 30-50% untuk kelompok nelayan skala menengah ke atas dan 40-60% untuk kelompok nelayan skala kecil.

Dalam hal kebutuhan akan BBM, selain persoalan kenaikan harga BBM, nelayan juga dihadapkan pada harga eceran yang di atas harga yang ditetapkan pemerintah karena besarnya peran penyalur atau pengijon dalam memainkan harga di tingkat nelayan.

Sebagai salah satu upaya terobosan untuk menjamin ketersediaan pasokan BBM dalam jumlah yang cukup, akses mudah, dan dengan harga yang sesuai dengan harga resmi pemerintah, Dijten Perikanan Tangkap bersama Pertamina mencanangkan program pembangunan SPDN/SPBN (Solar Pocked Dealer unluk Nelayan/Stasiun Pompa Bensin untuk Nelayan).

Relokasi Nelayan
Saat ini wilayah Pantai Utara Jawa dan beberapa wilayah di pantai timur Sumatera memiliki tingkat kepadatan nelayan yang sangat tinggi. Selain berdampak langsung kepada penurunan tingkat pendapatan nelayan karena tingkat persaingan yang tinggi kondisi tersebut juga dikhawatirkan menimbulkan ekses negatif bagi kelestarian sumber daya ikan.

Program relokasi nelayan yang dirintis Departemen Kelautan dan Perikanan bersama Departemen Tenaga Kerja den Transmigrasi merupakan salah satu program terobosan untuk menjawab masalah ini. Dengan adanya program relokasi nelayan yang dilakukan secara selektif dan matang, diharapkan akan lebih terjamin keseimbangan antara jumlah nelayan dengan potensi sumber daya ikan. DI tamping itu. pendapatan nelayan pun dlharapkan akan lebih meningkat.

Revitalisasi PP/PPI/TPI
Pelabuhan perikanan berperan sebagal entry point bagi kegiatan perikanan. Pelabuhan perikanan juga merupakan sentra kegiatan nelayan pada suatu wilayah.

Lebih luas lagi, pelabuhan perikanan merupakan pusat pertumbuhan ekonomi berbasis sektor kelautan dan perikanan.

Namun fungsi-fungsi pelabuhan perikanan tersebut saat ini belum optimal termanfataakan. Untuk itu dilakukan program revitalisasi pelabuhan perikanan, pangkalan pendaratan ikan dan tempat pelelangan ikan yang diarahkan kepada:

• Pembangunan fasilitas baru, sesuai dengan dukungan potensi den tingkat kegiatan yang ada
• Peningkatan kapasitas fasilitas, sesuai dengan skala layanan
• Mengembalikan produktifitas fasilitas sesuai kapasitas terpasang
• Penetapan batas wilayah kerja dan wilayah pengoperasian PP
• Peningkatan kualitas SDM pengelola
• Penyusunan SOP fasilitas
• Peningkatan status PP/PPI sesuai skala layanan.

Restrukturisasi dan Modernisasi Armada Perikanan
Terkait dengan kebijakan restrukturisasi den modernisasi armada perikanan nasional, kapal penangkap ikken asing secara bertahap akan dikurangi dan sesuai perjanjian bilateral pemberian kesempatan operasional kapal asing akan berakhir tahun 2007. Kapal perikanan asing yang masih menginginkan beroperasi di ZEE Indonesia hanya dimungkinkan melalui penanaman modal pada industri perikanan terpadu di Indonesia dengan pola usaha patungan.

Perusahaan perikanan nasional didorong untuk dapat memanfaatkan kekayaan sumber daya ikan di ZEE Indonesia secara optimal dan bertanggung jawab dengan perangkat kapal dan alat penangkap yang tepat dan memadai.

Seiring dengan itu, armada perikanan tangkap skala kecil yang sejauh ini masih dominan akan terus diberdayakan dan ditingkatkan skala usahanya sehingga struktur armada perikanan nasional.

Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap Skala Kecil
Pengembangan usaha perikanan tangkap skala kecil merupakan upaya pemberdayaan nelayan yang mencakup usaha perikanan tangkap secara terintergrasi, baik itu usaha penangkapan, pengolahan, maupun pemasaran, termasuk di dalamnya perkuatan manajemen usaha serta penangkapan kualitas SDM, serta fasilitasi permodalan. Sasaran dari program ini adalah nelayan skala kecil yang rentan terhadap kemiskinan yang tergabung dalam Kelompok Usaha Bersama. Program ini telah dilaksanakan sejak tahun 2002.

Pada tahun 2002, program PUPTSK dilaksanakan di 30 provinsi dengan total anggaran sekitar Rp 22,3 miliar. Pada tahun berikutnya, selian dilaksanakan di 30 provinsi, program PUPTSK juga dilaksanakan di 19 pelabuhan perikanan UPT pusat dengan anggaran sekitar Rp 39,24 miliar. Pada tahun 2004, program PUPTSK dllaksanakan di 82 kabupaten/kola yang tersebar di 30 provinsi serta di 19 pelabuhan perikanan UPT pusai dengan total anggaran sekitar Rp 44,91 miliar.

Setelah melewati proses evaluasi dengan mempertimbangan penajaman substansi dan focus orientasi serta lingkungan strategic yang terus berkembang, program PUPTSK mengalami penyempurnaan. Oleh karena itu, pada tahun 2005 terjadi perubahan pada sub progam PUPTSK menjadi :

• Optimasi Penangkapan Ikan (OPTIKAPI)
• Optimasl Pelelangan Ikan (OPTILANPI)
• Optimasi Pengolahan dan Distritbusi lkan (OPTIHANDIS) dan
• Optimasi Kelompok Usaha Bersama (OPTIKUB).

Perubahan ini antara lain menunjukkan makin terfokusnya pembinaan kelembagaan dan manajemen usaha sebagai modal penting dalam menghadapi perkembangan pasar yang dinamis. Pada tahun 2005, total anggaran untuk program PUPTSK dlalokasikan sebesar Rp 46,32 miliar.

Seiring dengan restrukturisasi organisasi Departemen Kelautan dan Perikanan, pelaksanaan PUPTSK tahun 2006 akan mengalami perubahan. Optimasi pengolahan dan pemasaran/distribusi yang selama ini menjadi sub program dalam PUPTSK akan menjadi kewenangan Ditjen P2HP. Sebagai gantinya, pada Program PUPTSK yang baru, akan dimunculkan sub program Optimasi Penanganan Hasil Perikanan, mulai dari sejak ditangkap di atas kapal hingga sampai di pelabuhan perikanan.

Program PUPTSK termama difokuskan pada sentra-sentra nelayan yang terindikasi masih memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi. yakni :

• Wilayah Pantura Jawa yang telah padat tangkap dengan tingkat produktivitas yang sangat kecil
• Kawasan Timur Indonesia yang memiliki potensi sumber daya ikan yang besar, namun tingkat pemanfaatan dan sistem pemasarannya belum optimal
• Daerah-daerah perbatasan dengan negara lain, khususnya yang memliki potensi sumber daya ikan yang tinggi. Pelaksanaan program PUPTSK di daerah perbatasan, di samping bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan dan menumbuhkan perekonomian lokal, juga dimaksudkan untuk ikut menjaga integritas national.

0 komentar:

Post a Comment

 

Statistik Pengunjung