Home | Looking for something? Sign In | New here? Sign Up | Log out

Sunday, February 14, 2010

KEMISKINAN NELAYAN: Bagaimana Solusinya?

Sunday, February 14, 2010
Oleh:
Zaim Mukaffi*

Sumberdaya perikanan terdiri dari sumberdaya ikan, sumberdaya lingkungan, serta sumberdaya buatan manusia yang digunakan untuk memanfaatkan sumberdaya ikan. Oleh karena itu, pengelolaan sumberdaya perikanan mencakup penataan pemanfaatan sumberdaya ikan, pengelolaan lingkungannya serta pengelolaan kegiatan manusia.
Bahkan dapat dikatakan bahwa pengelolaan sumberdaya ikan adalah manajemen kegiatan manusia dalam memanfaatkan sumberdaya ikan.
Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki kawasan pesisir yang sangat luas yang dihuni sekitar 2 juta nelayan dan petambak dan diperkirakan 60% dari nelayan di desa rata-rata pendapatannya masih di bawah kebutuhan minimalnya (Dahuri, dkk, 1996:31). Sangat ironis sekali dengan potensi yang begitu besar, saat ini masih banyak penduduk desa pantai yang memiliki taraf hidup tergolong rendah. Kemampuan nelayan untuk memenuhi kebutuhan dasar minimal kehidupan sehari-hari sangat terbatas. Bagi masyarakat nelayan, diantara beberapa kebutuhan pokok kehidupan, kebutuhan yang paling penting adalah pangan.
Walaupun para nelayan mengambil peranan yang sangat signifikan dalam peningkatan produktifitas perikanan nasional, tetapi hal tersebut tidak berkorelasi terhadap peningkatan kesejahteraan mereka. Kehadiran program-program intervensi pembangunan, khususnya untuk masyarakat pesisir, seperti Co-fish dan Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), merupakan wujud pengakuan adanya kemiskinan di kalangan masyarakat nelayan (Kusnadi, 2006:11).
Secara umum, kemiskinan nelayan ini bersifat struktural dan merupakan residu dari pembangunan kelautan dan perikanan selama ini (Kusnadi, 2006:15). Faktor-faktor yang menyebabkan kemiskinan nelayan tersebut sangat komplek dan akibat dari kemiskinan tersebut juga sangat komplek. Sering terjadi, akibat-akibat yang ditimbulkan oleh kemiskinan berulang kembali menjadi sebab dari kelangsungan hidup kemiskinan, sehingga sangat sulit untuk memutuskan mata rantai kemiskinan tersebut. Karena itu, semakin mendalam pemahaman persoalan tentang kemiskinan nelayan dan mengerti secara baik faktor-faktor yang melatarbelakanginya, semakin tidak mengerti cara harus memulai untuk mengatasi persoalan kemiskinan nelayan itu.

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEMISKINAN NELAYAN.
KETERSEDIAAAN SUMBERDAYA IKAN
Menurut Dirjen Perikanan (dalam Sugiarto dan Hadi, 2003:2) Indonesia merupakan negara kepulauan dengan dua pertiga wilayahnya berupa perairan laut yang terdiri dari laut pesisir, laut lepas, teluk dan selat yang luasnya 3,1 juta km2. Selain itu, Indonesia juga mempunyai hak pengelolaan dan pemanfaatan ikan di Zona Ekonomi Ekslusive (ZEE) sekitar 2,7 juta km2, sehingga luas wilayah laut yang dapat dimanfaatkan sumberdaya alam hayati dan non hayati di perairan yang luasnya sekitar 5,8 juta km2. dengan Panjang garis pantai lebih dari 81.000 km dan jumlah pulau lebih dari 18.000 pulau.
Lahirnya Undang-Undang No. 5/1985 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), secara geografis 75% wilayah negeri ini merupakan laut. Dari aspek geografi inilah para ahli sejarah ekonomi memulai kajian nusantara, dimana peran laut oleh Houben dikatakan “uncontested”. Peran perikanan sebagai salah satu industri di pesisir nampak masih sangat kecil (10% dari PDB Pertanian) dan berdasarkan data yang dilaporkan van der Eng sektor ini masih berada di bawah sektor lainnya dalam kurun waktu lebih dari satu abat terakhir. Sektor perikanan dan kelautan mulai mendapat perhatian lebih ketika Presiden Abdurrahman Wahid menetapkan lahirnya Departemen Ekplorasi Laut dengan Keppres 136/1999, atau kini Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP).
Potensi sumberdaya alam yang besar dan daya serap tenaga kerja yang diperkirakan lebih dari 10 juta orang. menjadikan sektor ini penting. Pemerintah tahun 2006 ini bahkan menargetkan produksi perikanan mencapai 7,7 juta ton, penerimaan devisa US$ 3,2 miliar, konsumsi ikan 28 kg/kapita/tahun, penyerapan tenaga kerja 7,7 juta orang, dan kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional 3,1% (5). Adapun Potensi ekonomi perikanan laut, Potensi Komoditas Produksi (mt) dan Nilai (US$ juta). dimana Perikanan laut mencapai 5.006 Mt atau $ 15.101, Budidaya laut 46.700mt atau $ 46.700, Budidaya payau 1.000 atau $ 10.000, Bioteknologi laut $ 4.000 Jumlah totalnya adalah $ 75.801. Perikanan laut diperkirakan menyumbang 78% dari total produksi perikanan tahun 2002 akan menjadi tumpuan sektor ini. Kemiskinan yang berhadapan dengan kerapuhan lingkungan hidup, konflik dan dualisme ekonomi, serta tumpang tindihnya dan tidak berdayanya perangkat kebijakan, merupakan tantangan yang pada gilirannya akan berimbas pada keberkanjutan pertumbuhan sektor ini (Suadi:2006).

KETERBATASAN MODAL
Nelayan dalam memproduksi ikan memerlukan input produksi atau faktor produksi. Adapun wujud dari input produksi berupa modal (Uang), alat tangkap dan peralatan melaut lainnya seperti kapal/perahu. Kebanyakan nelayan di Indonesia modal menjadi persoalan yang sangat serius hal ini dikarenakan nelayan memiliki keterbatasan modal. Nelayan masih mengandalkan modal dari juragan sehingga hasil produksinya tidak bisa dinikmati secara total oleh nelayan yang bersangkutan. Belum lagi diperparah oleh posisi nelayan yang 80% masih sebagai buruh tangkap sehingga menyebabkan hasil (pendapatan) nelayan menjadi rendah.

RENDAHNYA TINGKAT PENDIDIKAN
satu aspek yang (juga) menjadi akar kemiskinan nelayan adalah rendahnya tingkat pendidikan. Ambil contoh nelayan Muncar, jumlah nelayan Muncar yang mencapai 10.707 nelayan hampir 60% berpendidikan dasar. Dengan demikian, keterbatasan tingkat pendidikan juga berdampak pada pemahaman proses penangkapan dan pemanfaatan hasil tangkapan. Banyak sekali nelayan yang mengambil jalan pintas untuk mendapatkan hasil produksi tangkapan seperti menggunakan bom ikan/dinamit, racun ikan atau putasium. Mereka (nelayan) tidak pernah memikirkan dampak di masa yang akan datang bahwa ikan yang di bom atau di putasium secara alamiah akan merusak ekosistem laut yang berakibat pada hilangnya bibit-bibit ikan.
Sedangkan dari aspek pasca penangkapan, nelayan tidak mempunyai inovasi produksi ikan sehingga berdampak pada nilai jual hasil penangkapan. Mereka lebih memilih menjual langsung kepada perusahaan atau pengepul ikan meskipun dengan nilai yang sangat rendah.

POSISI TAWAR YANG LEMAH
Terkait dengan mekanisme pemasaran, posisi tawar nelayan secara umum lemah. Untuk mendapatkan kebutuhan produksinya nelayan harus membeli dari penjual -yang terjadi dibanyak tempat- selalu dimonopoli oleh penjual atau pengusaha tertentu. Misalnya kebutuhan akan Es. Sebagai contoh, harga es balokan per baloknya adalah 6000, namun karena banyaknya nelayan yang membutuhkan es tersebut dan jauhnya perusahaan es balokan maka harga es naik menjadi 6500 rupiah. Artinya bahwa, mau tidak mau nelayan harus membeli dengan tambahan 500 rupiah.
Dari sisi penjualan hasil tangkapan ikan, harga ikan lebih banyak ditentukan oleh bakul. Seperti contoh kasus di pelabuhan Muncar Kabupaten Banyuwangi. Posisi nelayan memang sangat dilematis, dimana nelayan (terpaksa) menjual ikannnya dengan harga yang di tentukan oleh perusahaan. Walaupun seolah-olah harga di tentukan berdasarkan penawaran atau melalui mekanisme lelang. Disisi lain, tidak adanya alternatif penjualan yang lain yang bisa menampung hasil tangkapan ikan. Di Muncar, mayoritas hasil tangkapan nelayannya adalah ikan sardenella atau ikan lemuru yaitu 85% dari total penangkapan ikan, dimana ikan lemuru mempunyai banyak kelemahan-kelemahan yaitu jumlah tangkapan yang sangat banyak dan daya tahan ikan di atas laut sangat singkat. Maka tidak ada pilihan bagi nelayan selain melepas harga ikan sesuai dengan apa yang di tawar oleh bakul atau perusahaan. Sebab nelayan takut kalau ikan hasil tangkapannya busuk dan tidak laku di jual. Pun demikian dengan apa yang terjadi di banyak tempat di Indonesia.
Dengan nilai jual yang relatif rendah sedangkan biaya produksi yang dikeluarkan oleh nelayan sangat tinggi maka pendapatan bersih yang diperoleh nelayan akan sedikit. Sehingga take home pay yang diperoleh nelayan menjadi sangat kecil.

PEMBAGIAN HASIL YANG TIDAK ADIL
Menurut Kusnadi (2000:107), pendapatan nelayan disamping ditentukan oleh hasil ikan yang ditangkap juga ditentukan oleh pembagian hasil dengan juragan. Mengenai bagi hasil disesuaikan dengan tugas masing-masing Buruh (Wilson, 2006). Namun umumnya, yang terjadi dibanyak kasus adalah pembagian pendapatan yang tidak adil. Model pembagiannya adalah 50% untuk juragan dan 50% untuk nelayan tetapi pembagian ini setelah dipotong biaya produksi. Misalnya adalah apabila nilai penangkapannya adalah 1.000.000 rupiah, maka asumsikan seluruh biaya produksi yang meliputi, bahan bakar, konsumsi, biaya retribusi, biaya perawatan dan lain-lain sebesar 250.000 rupiah maka sisa sebesar 750.000 rupiah di bagi 2 antara juragan (50%) dengan nelayan (50%) dari keuntungan.
Apabila pola pembagian semacam ini masih berlaku maka sebenarnya nelayan mendapat beban ganda yaitu pendapatan yang lebih kecil dari yang semestinya nelayan dapatkan dan (hakikatnya) nelayan mengeluarkan biaya non teknis yaitu waktu dan fisik. Yang menjadi permasalahan adalah bagaimana jika nilai hasil tangkapan hanya 250.000 atau kurang dari nilai tersebut? Anehnya, kerugian produksi nelayan juga ikut menanggung.

LEMAHNYA LEMBAGA KELAUTAN
Keberadaan suatu kelembagaan sangat bermanfaat bagi nelayan agar dapat membantu pelaksanaan program pemerintah. Bentuk kelembagaan itu sendiri antara lain koperasi unit desa Mina bahari, Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HSNI) dan beberapa kelompok nelayan lainnya.
Namun pada kenyataannya, Selama ini keberadaan kelembagaan nelayan belum sepenuhnya berjalan secara baik dan belum mampu menjadi wakil dari nelayan. Seperti KUD Mina Bahari, sebagai lembaga koperasi yang menyediakan berbagai fasilitas permodalan bagi nelayan ternyata belum bisa berbuat banyak. Disamping karena keterbatsan modal yang dimiliki, KUD Mina Bahari hanya menjadi wadah bagi nelayan pemilik/juragan dan tidak menyentuh pada nelayan kecil/buruh. Begitu juga HSNI, ternyata tidak bisa memberian perlindungan kepada hak-hak nelayan sehingga nelayan berada posisi yang sangat dilematis.

SOLUSI PENINGKATAN PENDAPATAN NELAYAN
PENATAAN WILAYAH PENANGKAPAN
Dengan adanya aturan wilayah tangkap bagi nelayan diharapkan bagi nelayan di daerah Kabupaten/kota yang mempunyai batas 4 mil laut dan Propinsi 12 mil laut adalah solusi yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi konflik antar nelayan satu wilayah dengan wilayah lainnya. Oleh sebab itu perlu adanya peningkatan lebih intens lagi bagi aparat hukum (polisi air dan Lanal) untuk menegakkan aturan pemanfaatan potensi laut berdasarkan Zona Ekonomi Ekslusive laut. Seperti contoh nelayan dari Lamongan dan Tuban menangkapl ikan di daerah selat Bali hal ini berakibat terjadinya konflik antara nelayan Bali dan Banyuwangi dengan nelayan Lamongan da Tuban. Disamping itu, sosialisasi zona yang terus menerus dari pemerintah terhadap nelayan dapat memberikan pemahaman yang lebih baik kepada nelayan supaya mampu mimahami akan pentingnya zona penangkapan ikan di suatu daerah.

PEMBERIAN BANTUAN MODAL
Menurut Marwoto (2004) Pemberian bantuan modal merupakan langkah kongrit yang harus dilakukan oleh pemerintah diantaranya adalah bantuan unit penangkapan kepada nelayan yang merupakan langkah yang secara langsung akan dapat meningkatkan pendapatan nelayan. Dengan adanya bantuan unit penangkapan maka pendapatan nelayan tidak lagi tergantung pada bagi hasil yang diperoleh dari pemilik unit penangkapan, tapi langsung dari besarnya nilai penjualan hasil tangkapan yang diperolehnya. Dalam pelaksanaannya, pemberian bantuan tersebut harus memperhatikan beberapa hal sebagai berikut.
Pertama, bantuan tidak diberikan pada perseorangan, tapi pada kelompok nelayan buruh secara tanggung renteng. Hal ini dimaksudkan untuk mewujudkan adanya suatu usaha bersama dimana masing-masing anggota menanggung jika ada kerugian dan sebaliknya memperoleh keuntungan yang sama bila ada hasil. Karena merasa sama-sama memiliki maka diharapkan setiap nelayan akan bersungguh-sunguh dalam menjalankan usahanya. Dalam pelaksanaannya dapat ditunjuk seseorang yang dianggap mampu untuk bertindak sebagai koordinator atau ketuanya.
Kedua, unit penangkapan yang yang diberikan disesuaikan dengan keinginan dan kebutuhan nelayan. Dengan bantuan unit penangkapan yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan nelayan maka sudah dapat dipastikan bahwa unit penangkapan tersebut sesuai untuk dioperasikan di perairan dimana nelayan biasa melakukan kegiatan penangkapan dan tidak perlu lagi adanya proses untuk penyesuaian karena dirasakan asing oleh nelayan. Yang lebih penting, bahwa rasa memilikinya akan semakin kuat sehingga usaha penangkapan akan dilakukan dengan penuh kesungguhan. Dalam hal ingin memasukkan suatu inovasi baru, dapat dilakukan melalui dialog dari hati ke hati dengan nelayan dan dilakukan secara terbuka.
Ketiga, pengadaan unit penangkapan yang akan diberikan tidak melalui pendekatan proyek. Dengan pendekatan melalui proyek dalam proses pengeadaannya maka dari sisi biaya akan mengalami pembengkakan dibandingkan nilai riel dari unit penangkapan yang diberikan kepada nelayan. Pembekanan biaya terutama terjadi karena biaya-biaya yang harus dikeluarkan dalam rangka memenuhi persyaratan administrasi proyek, pajak yang harus dibayar dan keuntungan bagi pelaksana pekerjaan. Selain itu, ada persepsi yang salah dari masyarakat yang menyangkut program pemnberian bantuan dari Pemerintah. Pada umumnya masyarakat memahami bahwa yang disebut sebagai proyek bantuan dari Pemerintah diartikan sebagai sesuatu yang tidak harus kembali dan tidak harus berhasil. Masyarakat menjadi semakin pintar dan paham karena pengalaman yang diperolehnya selama ini.
Akan lebih baik jika mekanisme pemberian bantuan dilakukan dengan melalui Bank, dimana nelayan calon penerima bantuan diarahkan untuk berhubungan dengan Bank dimana dana dari Pemerintah dititipkan. Secara psikologis nelayan akan lebih taat pada saat berhubungan dengan Bank karena memahaminya bahwa unit penangkapan yang diperolehnya berasal dari kredit dan pasti harus dikembalikan. Namun demikian, prosedur yang berbelit harus dihindarkan agar tidak ada keegganan dari nelayan untuk mengurus ke Bank. Persyaratan adanya jaminan yang harus disediakan nelayan, jelas tidak akan pernah dapat dipenuhi oleh nelayan, dan oleh karenanya perlu ditiadakan.
Keempat, pemberian bantuan unit penangkapan harus disertai dengan pendampingan manajemen. Pendampingan manajemen sangat diperlukan mengingat bahwa selama ini nelayan terbiasa bertindak sebagai pelaksana atau operator saja. Segala kebutuhan yang harus dipersiapkan untuk dapat berangkat ke laut tidak pernah terpikirkan karena biasanya disediakan oleh pemilik unit penangkapan. Untuk merubah sikap dan cara berpikir dari operator menjadi pengelola tidaklah mudah dan perlu waktu. Oleh karenanya diperlukan pendampingan manajemen sehingga terjadi proses perubahan secara bertahap.
Kelima, besarnya dana bergulir yang sudah terkumpul bukan menjadi indikator keberhasilan. Apabila besarnya dana bergulir yang terkumpul dijadikan tolok ukur keberhasilan maka akan mendorong petugas yang ada di lapangan untuk secara ketat menagih dana bergulir pada nelayan setiap kali menjual hasil tangkapan. Petugas lapangan tidak mau dinilai gagal dalam melaksanakan tugasnya. Di sisi lain, tujuan dari program yang dilaksanakan adalah untuk meningkatkan pendapatan nelayan, sehingga akan dinilai berhasil jika pendapatan nelayan meningkat sebagai akibat dari pemberian bantuan unit penangkapan.

PEMBERDAYAAN NELAYAN
Guna memberdayakan dan mensinergikan seluruh potensi yang dimiliki oleh masyarakat di wilayah pesisir –baca: nelayan-. Maka upaya-upaya yang dilakukan adalah (1) meningkatkan kemampuan manajemen organisasi nelayan berwawasan agribisnis, (2) meningkatkan kemampuan dan kapasitas kelompok nelayan dalam menyediakan permodalan usaha, (3) meningkatkan kemampuan dan kapasitas nelayan dan kelompok nelayan dalam pemupukan modal usaha (capital formation) serta (4) meningkatkan dan mengefektifkan organisasi nelayan dalam pengelolaan usaha.
Untuk memperkuat kelompok-kelompok yang telah dibentuk, maka dilakukan pemberdayaan wadah kelembagaan perikanan dalam menunjang agribisnis perikanan. Peningkatan kemampuan kelembagaan nelayan dapat dipandang sebagai salah satu cara yang dapat ditempuh guna memberdayakan dan mensinergikan seluruh potensi yang dimiliki oleh masyarakat di wilayah pesisir. Karena itu upaya ke arah peningkatan kemampuan wadah kelembagaan nelayan sangat perlu untuk dilakukan melalui beberapa kegiatan, yaitu (1) Memberi pengetahuan kepada nelayan tentang wadah kelembagaan yang cocok di sektor perikanan, (2) Meningkatkan kemampuan baik pengetahuan maupun ketrampilan nelayan menjaga dan menciptakan wadah kelembagaan perikanan dan (3) Memberi pengetahuan kepada nelayan tentang cara-cara pengusulan pemupukan modal usaha perikanan dan pengusulan wadah kelembagaan.

PERBAIKAN SISTEM BAGI HASIL
Sistem bagi hasil adalah sistem yang mengatur pembagian tangkapan antara pemilik kapal/perahu atau orenga dengan pandhiga berdasarkan norma-norma yang berlaku. Persepsi yang digunakan adalah bahwa perahu sebagai satu unit produksi, sistem bagi hasil yang berlaku berbeda-beda karena tingkat kebutuhan akan jumlah pandhiga yang diperlukan, spesialisasi pekerjaan, dan biaya operasi dan pemeliharaan. Mengenai sistem bagi hasil di mana pendapatan dikurangi biaya produksi dibagi dua. Artinya, seluruh pendapatan dipotong biaya produksi secara keseluruhan dan sisanya dibagi 2 antara juragan dengan nelayan buruh (ABK), di mana juragan memperoleh 50% dan buruh nelayan memperoleh 50%. Hal ini akan sesuai dengan UU. No. 16 Tahun 1964, dimana pembagian hasil penangkapan dilakukan setelah seluruh pendapatan nelayan dikurangi biaya produksi. Berbeda dengan apa yang selama ini terjadi di lingkungan nelayan (yang hampir terjadi di Seluruh Indonesia) bahwa pembagian 50:50 sebelum dibagi biaya produksi.

PENGUATAN LEMBAGA KELAUTAN
Dalam tahap awal, kelembagaan yang perlu dikembangkan adalah Kelompok Nelayan Buruh, yang diharapkan dapat menjadi wadah bagi nelayan buruh untuk mengkonsolidasikan dan mengaktualisasikan dirinya. Dengan jumlah nelayan buruh yang sangat banyak dan dominan dan tergabung dalam suatu organisasi akan dapat meningkatkan posisi tawar terhadap nelayan pemilik sehingga tidak ada lagi hubungan kerjasama yang tidak saling menguntungkan. Peran kelembagaan Kelompok Nelayan ini diharapkan seperti peran kelembagaan pekerja di sektor industri dengan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). Bagi nelayan yang bekerja di perikanan industri (skala besar) penerapan ketentuan upah minimum regional sudah seharusnya juga diterapkan, apalagi waktu kerja dan resiko kerja bagi nelayan lebih berat dibandingkan dengan pekerja/buruh industri. Sudah waktunya sistim Hubungan Kerja Industrial Pancasila juga diterapkan di bidang perikanan.
Di sisi lain, mengingat jumlahnya yang banyak, sudah sewajarnya jika Pemerintah mulai memberikan perhatian kepada Kelompok Nelayan Buruh ini. Dapat dipastikan bahwa mereka juga memerlukan pembinaan, dan justru merekalah yang harus dibina agar dapat diperoleh peningkatan produksi perikanan yang berasal dari kegiatan penangkapan ikan. Meningkatnya produksi akan diikuti dengan peningkatan nilai jual hasil tangkapan dan pada gilirannya akan berdampak terhadap peningkatan pendapatan nelayan.
Dalam tahap berikutnya, Kelompok Nelayan Buruh secara bertahap dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi Kelompok Usaha Bersama pada saat memiliki kemampuan untuk melakukan investasi untuk mengadakan unit penangkapan secara bersama. Peningkatan pendapatan dapat diperoleh dengan mekanisme yang sama dengan adanya bantuan unit penangkapan yang berasal dari Pemerintah
Disamping itu penguatan lembaga permodalan juga sangat penting demi menunjang atau mempermudah proses produksi perikanan laut bagi nelayan. Maka dari itu KUD Mina sebagai lembaga keuangan di sektor kelautan perlu memberikan modal kepada nelayan khususnya nelayan buruh, sehingga dapat memperoleh hasil produksi lebih baik. Paling tidak dapat mengurangi ketergantungan pada juragan ikan.

* Penulis adalah Alumni MEP UGM Yogya Angkatan 28

0 komentar:

Post a Comment

 

Statistik Pengunjung